Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Kader PSI Disebut Samakan Jokowi dengan Nabi, Klarifikasinya Picu Gelombang Baru Perdebatan

 Dedy Nur PSI Jelaskan Kembali soal Kenabian Jokowi: Penunjuk Jalan dalam Krisis Moral Publik

Repelita Jakarta - Pernyataan seorang politikus Partai Solidaritas Indonesia, Dedy Nur Palakka, mengundang kontroversi setelah menyebut Presiden Joko Widodo memenuhi syarat sebagai nabi dalam unggahan di platform X.

Unggahan tersebut menjadi viral dan memicu kritik dari berbagai kalangan.

Reaksi keras bahkan datang dari internal partainya sendiri.

DPW PSI Bali secara resmi menegur Dedy karena ucapannya dinilai sensitif dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat majemuk.

Menanggapi hal itu, Dedy segera memberikan klarifikasi.

Ia menegaskan bahwa ucapannya bersifat metaforis dan tidak dimaksudkan sebagai pernyataan teologis.

“Kritik seperti ini penting agar diskusi tidak jatuh ke euforia atau miskomunikasi yang berlarut. Namun izinkan saya meluruskan beberapa hal agar perdebatan ini tetap berada di jalur fakta, logika, dan refleksi publik yang sehat,” tulis Dedy.

Ia menjelaskan bahwa penggunaan istilah “nabi” dalam pernyataannya bersandar pada tradisi kritik budaya dan filsafat, bukan doktrin keagamaan.

Dedy menyebut tokoh-tokoh seperti Socrates, Buddha, hingga Karl Marx kerap disebut sebagai ‘nabi pemikiran’ atau ‘nabi revolusi’ dalam ruang diskursus akademik.

“Slavoj Zizek pernah menyebut Marx sebagai ‘the last prophet of modernity’. Dalam bahasa akademik, istilah ‘prophetic voice’ juga biasa digunakan untuk menggambarkan tokoh pencerah zaman. Saya mengadopsi kerangka itu,” katanya.

Dalam pandangannya, Jokowi dilihat sebagai pemimpin yang mampu memberikan arah di tengah situasi bangsa yang kompleks.

“Jokowi bukan nabi dalam pengertian wahyu, tetapi dalam pengertian sosial: penunjuk jalan dalam krisis politik dan moral publik. Itu pandangan pribadi saya sebagai warga negara,” tegas Dedy.

Terkait tuduhan penistaan agama, Dedy menyayangkan sikap publik yang menurutnya menerapkan standar ganda.

Ia menyebut bahwa menyamakan Jokowi dengan tokoh diktator kerap dianggap kritik wajar, tetapi menyebutnya dengan metafora kenabian justru langsung dicap sebagai bentuk penghinaan.

“Jika menyebut Jokowi memenuhi syarat sebagai nabi dianggap ‘menista agama’, tapi menyamakannya dengan diktator dianggap kritik biasa, maka kita sedang mengalami keruntuhan moral estetik,” tulisnya.

Dedy mengaku siap berdialog dengan pihak-pihak yang merasa tersinggung.

Namun ia menolak permintaan maaf secara serampangan tanpa dasar hukum yang jelas.

“Sebelum minta maaf atas sesuatu, mari kita pastikan dulu: apakah saya melanggar hukum? Apakah saya menyerang agama, atau hanya menggunakan metafora untuk mengapresiasi kepemimpinan Jokowi?” ucapnya.

Ia menegaskan bahwa pandangannya lahir dari nalar kritis, bukan pemujaan terhadap tokoh politik.

“Saya mengagumi, bukan menyembah. Saya mengkritisi, bukan memitoskan,” tambahnya.

Dedy diketahui merupakan kader PSI yang gagal terpilih dalam dua kali pencalonan legislatif pada 2019 dan 2024.

Meski demikian, ia tetap aktif di ruang publik, khususnya melalui media sosial.

Ia merupakan lulusan program pascasarjana bidang teknik dari Hiroshima University di Jepang.

Dalam penutup klarifikasinya, Dedy mengajak masyarakat untuk tidak mematikan pikiran kritis.

Menurutnya, kemajuan bangsa dibentuk dari ruang diskusi yang terbuka dan toleran terhadap pandangan berbeda.

“Saya hanya ingin mengajak publik untuk berpikir, merefleksikan kepemimpinan, dan merawat kewarasan dalam berbangsa. Jika ada yang terusik, mari berdialog. Tapi jangan larang orang berpikir,” pungkasnya. (*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved