
Repelita Jakarta - Warga Muslim dan Kristen yang tinggal di Israel dilarang masuk ke bunker perlindungan saat serangan balasan Iran menghantam wilayah itu.
Majelis Ulama Indonesia mengecam keras larangan tersebut karena dinilai sebagai bentuk diskriminasi berbasis agama yang membahayakan hak hidup warga sipil.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim, menyatakan bahwa tindakan penguasa Israel merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
Menurutnya, tidak ada satu agama pun yang berhak mendapat perlakuan istimewa dalam situasi darurat.
Ia menegaskan bahwa bunker perlindungan seharusnya terbuka untuk semua warga tanpa kecuali.
Larangan tersebut dinilainya sebagai perbuatan yang nista dan tidak berperikemanusiaan.
Sudarnoto menyebut bahwa Israel semakin terang-terangan menunjukkan sikap melawan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Ia menyerukan kepada negara-negara di dunia agar segera bertindak menekan Israel untuk menghentikan praktik diskriminatif.
Sudarnoto bahkan menyarankan agar dunia internasional menjatuhkan sanksi dan menyeret Benjamin Netanyahu ke meja pengadilan.
Dalam keterangannya, ia menyatakan bahwa perlawanan Iran terhadap Israel adalah bentuk sah melawan imperialisme.
Ia berharap dominasi militer Israel segera runtuh.
Sebelumnya, sejumlah warga Palestina non-Yahudi di wilayah Israel melaporkan bahwa mereka tidak diizinkan memasuki tempat perlindungan saat sirene peringatan berbunyi.
Mereka mengungkapkan bahwa kode akses bunker telah diubah oleh pihak pengelola gedung.
Kejadian ini terjadi di Jalan Yehuda Hayamit, salah satu wilayah permukiman campuran di Israel.
Nasir Ktelat, seorang warga berusia 63 tahun, mengaku awalnya masih bisa masuk ke bunker bersama belasan tetangga non-Yahudi lainnya.
Namun, saat kembali esok hari, mereka diberitahu bahwa kunjungan itu adalah yang terakhir.
Nasir mengatakan bahwa mereka secara terang-terangan ditolak dan disampaikan bahwa aturan baru akan diterapkan agar warga Muslim dan Kristen tidak bisa masuk lagi.
Menurut Nasir, penghuni bangunan baru yang mayoritas Yahudi merasa terganggu dengan kehadiran mereka.
Warga Yahudi Israel dari bangunan lama tetap diizinkan menggunakan bunker tersebut, sementara warga lainnya tidak diberi akses lagi.
Nasir mengatakan bahwa ketimpangan perlakuan ini semakin mempertegas status warga Palestina sebagai penduduk kelas dua, bahkan dalam kondisi darurat.
Ia menyayangkan bahwa ketakutan dan nyawa manusia dikorbankan demi fanatisme sektarian yang sempit. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

