Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Jokowi "Lebih Suka" Ditanya Ijazah Ketimbang Hasil 10 Tahun Jadi Presiden

 

Repelita, Jakarta - Perbincangan soal keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali memanas di ruang publik. Dari ruang pengadilan hingga perdebatan di media sosial, isu ini terus bergulir. Namun yang lebih penting dari sekadar dokumen ijazah adalah apa yang telah dicapai oleh pemegangnya selama memimpin bangsa ini selama sepuluh tahun.

Agusto Sulistio, pegiat sosial media dan anggota aktif Indonesia Democracy Monitor (InDemo), mempertanyakan sikap Jokowi yang seolah lebih nyaman menjawab tudingan soal ijazah, ketimbang membuka ruang diskusi jujur tentang capaian dan kegagalannya selama dua periode menjabat.

“Rakyat tidak hidup dari ijazah, tapi dari kebijakan. Selama sepuluh tahun Jokowi berkuasa, apakah kehidupan rakyat makin mudah atau makin sulit?” tegas Agusto.

Selama satu dekade terakhir, ekonomi rakyat kecil tak kunjung membaik. Harga kebutuhan pokok melonjak, biaya pendidikan kian mahal, sementara penghasilan tetap stagnan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin per Maret 2024 mencapai 25,22 juta orang. Angka ini nyaris tidak berubah sejak 2019.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2024 masih tinggi, yakni 5,32% atau sekitar 7,2 juta orang. Mayoritas dari mereka adalah lulusan SMA/SMK, usia muda, usia produktif.

Kondisi ini diperparah oleh meningkatnya biaya pendidikan. Di kampus negeri, biaya kuliah semester awal bisa mencapai Rp7–15 juta. Padahal di banyak daerah, gaji minimum masih di kisaran Rp2,5 juta per bulan.

Di sisi lain, ketimpangan ekonomi tetap lebar. Rasio Gini Indonesia pada 2023 mencapai 0,388. Di Jakarta bahkan menembus 0,419. Ini menunjukkan jurang antara si kaya dan si miskin semakin dalam.

“Dulu buruh dan petani masih bisa menyekolahkan anaknya hingga kuliah. Sekarang, jangankan kuliah, menyelesaikan SMA saja sudah berat,” lanjut Agusto.

Menurutnya, Jokowi terlalu sibuk mengejar proyek-proyek infrastruktur besar seperti jalan tol, kereta cepat, dan pemindahan ibu kota negara (IKN). Padahal, proyek semacam itu tidak menjawab kebutuhan rakyat bawah yang mendesak: pendidikan, kesehatan, dan harga pangan terjangkau.

Laporan Bank Dunia (2023) menegaskan, pembangunan infrastruktur di Indonesia belum bersifat inklusif dan belum mampu mengurangi kemiskinan secara signifikan. Banyak proyek besar lebih menguntungkan elite dan investor daripada rakyat kebanyakan.

Negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh bisa dijadikan contoh. Mereka menurunkan kemiskinan drastis bukan dengan megaproyek, tapi melalui subsidi pertanian, pendidikan gratis, dan pemberdayaan rakyat kecil.

“Jika setelah 10 tahun rakyat justru makin susah, lalu apa arti keberhasilan? Ijazah itu penting, tapi yang lebih penting adalah hasil nyata dari kepemimpinan,” kata Agusto menutup pernyataannya.

Netizen juga menyoroti hal ini. Salah satu komentar menyindir, “Lebih baik ijazah palsu tapi rakyat sejahtera, atau ijazah asli tapi rakyat makin menderita?”

Komentar lainnya menambahkan, “Rakyat cuma minta bukti, bukan debat soal ijazah. Coba jawab, apa yang membaik selama 10 tahun terakhir?”

Kini rakyat mulai bangkit bertanya, bukan hanya soal ijazah Jokowi, tapi lebih dalam: kenapa hidup makin berat? Kenapa impian menyekolahkan anak makin sulit digapai?

Bagi rakyat, mungkin Jokowi lebih suka ditanya soal ijazah. Karena jika ditanya soal hasil 10 tahun kepemimpinan, jawabannya terlalu pahit untuk diakui.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved