Repelita Jakarta - Kasus demi kasus terus terkuak di era pemerintahan Prabowo, meskipun hal ini bukanlah hasil dari kebijakan presiden baru tersebut. Pembongkaran berbagai skandal bukanlah bagian dari konsistensi kebijakan, melainkan dampak dari warisan pemerintahan sebelumnya. Banyak pihak menduga bahwa berbagai kasus korupsi dan penyimpangan yang muncul saat ini masih berkaitan dengan kinerja Prabowo ketika menjabat sebagai Menteri Pertahanan di era Jokowi.
Rezim Jokowi mendapat berbagai label negatif, mulai dari rezim zalim, rezim pembohong, rezim mistik, hingga rezim korup. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah sikap Prabowo yang justru menganggap Jokowi sebagai sosok yang baik dan patut dihormati. Banyak pihak heran mengapa Prabowo tampak begitu tunduk dan patuh kepada Jokowi, bahkan berani melawan arus publik yang menuntut pertanggungjawaban mantan presiden tersebut. Sikap ini memunculkan spekulasi bahwa Prabowo berada dalam kendali atau pengaruh tertentu.
Salah satu kasus besar yang mengguncang adalah skandal korupsi Pertamina. Ketika perusahaan pelat merah ini masuk dalam grup Danantara, justru di saat bersamaan, terungkap dugaan korupsi besar-besaran yang melibatkan triliunan rupiah. Banyak pihak khawatir bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya juga mengalami hal serupa akibat intervensi politik dan kepentingan kelompok tertentu. Bukan hanya masalah manajemen yang buruk, tetapi lebih jauh dari itu, ada masalah moralitas dan integritas yang merusak sistem secara keseluruhan.
Dugaan korupsi di Pertamina disebut-sebut melibatkan berbagai nama besar, termasuk Riza Chalid, Maya Kusmaya, Riva Siahaan, hingga Boy Thohir dan Erick Thohir. Beberapa di antaranya bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka. Kondisi ini menegaskan bahwa Pertamina bukan hanya perusahaan migas, tetapi juga menjadi pusat permainan oligarki dan kepentingan kelompok tertentu yang merugikan negara dan rakyat.
Banyak pihak mempertanyakan apakah aliran uang hasil korupsi ini hanya berhenti pada level komisaris, direksi, dan menteri, ataukah mencapai tingkat yang lebih tinggi, termasuk presiden? Diamnya para petinggi negara dalam menyikapi kasus ini menimbulkan kecurigaan bahwa mereka ikut menikmati hasil dari praktik korupsi tersebut. Beberapa pihak bahkan berpendapat bahwa hukuman bagi para pelaku korupsi semestinya lebih berat, bahkan ada yang menyerukan agar hukuman mati diterapkan bagi mereka yang telah merampok uang negara.
Sistem hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan kini justru diragukan kredibilitasnya. Polisi, jaksa, dan hakim dinilai mengalami krisis moralitas, sehingga kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum semakin menurun. Seruan untuk melakukan pengadilan rakyat mulai menggema, menandakan kemarahan publik terhadap ketidakadilan yang terus berlanjut. Kondisi ini bukan hanya menjadi ancaman bagi sisa-sisa rezim Jokowi, tetapi juga bagi Prabowo yang kini berada di tampuk kekuasaan.
Dalam menghadapi kondisi politik yang semakin tidak menentu, ada dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, reformasi jilid dua yang mirip dengan gerakan rakyat tahun 1998. Saat itu, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat berhasil menggulingkan Soeharto melalui gelombang demonstrasi besar-besaran. Isu utama yang diangkat adalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), serta krisis ekonomi yang mendukung gerakan tersebut. Pergantian kepemimpinan pun berjalan sesuai konstitusi, dengan Habibie menggantikan Soeharto.
Skenario kedua adalah revolusi. Ini adalah bentuk people power yang lebih ekstrem, yang dapat terjadi jika kondisi negara semakin memburuk, seperti korupsi yang semakin merajalela, utang luar negeri yang membengkak, kedaulatan negara yang tergadaikan, serta penguasaan ekonomi oleh kelompok tertentu yang mengabaikan kepentingan rakyat. Jika hukum tetap digunakan sebagai alat kekuasaan dan berbagai kasus besar terus ditutupi, maka kemungkinan terjadinya revolusi semakin besar.
M Rizal Fadillah, seorang pemerhati politik dan kebangsaan, menegaskan bahwa desakan agar Jokowi diadili semakin kuat. Skandal korupsi yang melibatkan triliunan rupiah, proyek-proyek mangkrak seperti IKN, serta berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan, menjadi pemicu utama kemarahan rakyat. Mahasiswa, ulama, purnawirawan, emak-emak, dan berbagai elemen pergerakan lain yang selama ini tampak pasif, bisa saja menemukan momentum untuk bangkit.
Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya langkah awal untuk menegakkan keadilan, maka dua pilihan pahit akan muncul: reformasi atau revolusi. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok