Repelita Jakarta - Wacana revisi Undang-Undang TNI yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan di 15 kementerian dan lembaga negara menuai kritik. Pengamat politik sekaligus Guru Besar Saiful Mujani menilai langkah ini sebagai kemunduran demokrasi yang mengingatkan pada era Orde Baru.
"Kelakuan Prabowo ini benar-benar set back ke Orde Baru," ujar Saiful dalam unggahan di akun X pribadinya, @saiful_mujani.
Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap arah kepemimpinan Prabowo Subianto jika kebijakan ini diberlakukan.
"Tahu dari awal dia akan jadi presiden buruk, tapi tak seburuk ini," tambahnya.
Wacana revisi ini disampaikan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Ia menjelaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang diusulkan Prabowo mencakup beberapa poin utama, salah satunya adalah memungkinkan prajurit aktif mengisi jabatan di 15 kementerian dan lembaga tertentu.
"Jadi ada 15 kementerian dan lembaga yang bisa diisi personel aktif, sedangkan untuk jabatan tertentu lainnya tetap harus pensiun," ujar Sjafrie di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Adapun 15 kementerian dan lembaga yang diusulkan dapat diisi oleh prajurit aktif dalam rancangan revisi UU TNI meliputi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, dan Lemhannas.
Selain itu, juga mencakup Dewan Pertahanan Nasional (DPN), SAR Nasional, Narkotika Nasional, Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Menurut Sjafrie, revisi ini juga mencakup perpanjangan usia dinas prajurit serta pengaturan lebih lanjut mengenai kedudukan TNI dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan.
Namun, kritik terhadap revisi ini semakin menguat, terutama terkait potensi kembalinya dwifungsi TNI yang pernah berlaku pada era Orde Baru. Saiful Mujani menilai bahwa kebijakan ini mengancam demokrasi dan dapat mengulang sejarah masa lalu di mana militer terlalu dominan dalam pemerintahan sipil. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok