Jauh sebelum Peristiwa 1965, desas-desus keterlibatan Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA) pada sejarah penting di Indonesia kerap mencuat. Misalnya, saat terjadi pergolakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) 1957-1960.
Keterlibatan Amerika dalam Permesta menemui titik cerah ketika pesawat Mustang milik pasukan Republik Indonesia, berpilot Kapten Ignatius Dewanto berhasil menembak jatuh pesawat pembom Invader B-29, ketika terjadi pertempuran sengit di udara Kepulauan Ambon, Maluku.
Saat digeledah, di dalam pesawat B-29 terdapat pilot asal Amerika veteran Perang Korea, Allen Lawrence Pope dan operator Jan Harry Rantung.
Pesawat B-29 merupakan tenaga bantuan Amerika lewat pangkalan militer Clark di Filipina untuk Angkatan Udara Revolusioner (AUREV), pasukan tempur udara milik Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Pemerintah Amerika, tulis Barbara Sillars Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, sejak pilotnya tertangkap tangan, ia memutuskan untuk tak lagi mengirim bantuan kepada Permesta di Sulawesi dan PRRI di Sumatra.
Dalam artian, tulis Barbara, dengan menarik seluruh armada ke Filipina, lalu mengubah strategi menangkal pengaruh komunis di Asia Tenggara, terutama di Indonesia melalui cara lain.
Setelah itu, strategi anyar Amerika membendung pengaruh komunis di Indonesia dengan mengalihkan bantuan kepada Angkatan Darat untuk mengimbangi sepak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menjungkal kekuasaan Sukarno.
"Sekaligus Amerika berharap bahwa dengan tersingkirnya PKI dan Bung Karno, Indonesia akan berada di bawah dominasi militer yang anti-komunis dan yang berorientasi ke Barat," tulis Baskara T. Wardaya dalam Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal '65 hingga G30S.
Strategi itu lantas menemui pintu masuk ketika menghangat isu Dewan Jenderal. Pemerintah Amerika melalui Dinas Intelejen CIA diduga ikut bermain pada pelemahan PKI di tahun pecahnya G30S.
CIA, menurut jurnalis BBC Roland Challis, secara masif menginfiltrasi eselon atas Angkatan Darat dan menjatuhkan pilihan terhadap seorang perwira oportunis.
"Untuk kemudian membantu CIA menjalankan suatu kudeta bertahap yang berlanjut dengan pembunuhan lebih dari sejuta orang yang dituduh pelakunya adalah komunis," tulis Challis dalam Shadow of a Revolution.
Senada dengan Challis, Peter Dale Scott, mantan diplomat Kanada dan dosen di Univesitas California-Barkeley mengungkap keterlibatan CIA lewat program bantuan militer.
"Pemerintah Amerika berbohong soal ketidakterlibatannya itu," kata Dale Scott.
Setelah melacak program-program militer AS di Indonesia sejak pertengahan 50-an, Dale Scott menunjukkan peningkatan volume bantuan militer AS untuk faksi tertentu di Angkatan Darat meningkat pada sekitar tahun 1965.
Bukti lain mengenai keterlibatan CIA, lanjut Challis, terjadi setelah pecah tragedi di tanggal 30 September-1 Oktober 1965, khususnya pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan PKI serta penjungkalan Sukarno dari kursi presiden.
Adapun caranya, menurut Challis menukil informasi Kathy Kadane di koran San Fransisco Examiner, 20 Mei 1990 serta koran Washington Post edisi 21 Mei 1990, CIA menyerahkan suatu daftar kepada pihak Angkatan Darat berisi 5.000 nama orang-orang komunis yang harus dibunuh.
Meski markas besar CIA di Washington, Amerika Serikat, mementahkan spekulasi keterlibatan dinas rahasianya itu dalam penyusunan daftar tersebut.
Tapi menurut Baskara T Wardaya, dua orang pekerja di Kedubes AS, Jakarta, Joseph Lazarsky (Wakil Ketua Cabang CIA di Jakarta) dan Edward Masters (Direktur Bidang Politik Kedubes), justru menyatakan pihak CIA terlibat.
Robert Martens, bekas anggota staf Bidang Politik Kedubes AS kala itu, mengakui keberadaan daftar tersebut pada 1990.
"Daftar itu merupakan bantuan yang amat berguna bagi AD. Mereka (AD) mungkin membunuh banyak orang, dan tangan saya sendiri mungkin berlumuran darah, tetapi toh tidak semuanya jelas. Ada momen di mana seseorang harus ambil tindakan tegas pada saat-saat yang menentukan," tulis Martens sebagaimana dikutip Baskara T Wardaya.
Banyak pihak di kalangan militer bahkan para sejarawan menentang arus pendapat mengenai keterlibatan CIA pada Peristiwa 1965.
Mereka berdalih tak ada dokumen resmi CIA berbicara tentang Indonesia pada tahun 1965.
Argumen itu sempat kokoh. Namun, ambruk dengan munculnya arsip-arsip rahasia Kedutaan Besar Amerika tahun 1964-1968, mengenai peran Kedubes Amerika Serikat pada Peristiwa 1965.
Pusat Deklasifikasi Nasional atau National Declassification Centre (NDC), unsur National Archives and Records Administration (NARA) membuka kepada publik arsip deklasifikasi berjumlah 39 dokumen berisi 30.000 halaman tersebut merupakan dokumen laporan Kedubes AS di Jakarta pada periode Duta Besar Amerika Serikat Howard P Jones (1958-1965) dan Marshall Green (1965-1969).
Arsip itu melengkapi bagian-bagain bolong terkait Peristiwa 1965.