Pemerintah dan DPR menjadwalkan rapat kerja secara mendadak untuk mrevisi Undang-undang Pilkada pada Rabu (21/8/2024) hari ini.
Rapat kerja dadakan ini digelar untuk membahas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah.
"Nah saat yang bersamaan tadi ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Pilkada Pasal 40, itu. Pasal 40. Itulah kemudian yang salah satunya menjadi materi muatan dalam pembahasan besok," kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi, Selasa (20/8/2024).
Awiek, sapaan akrab Baidowi, tidak menjawab gamblang ketika ditanya soal rapat tersebut digelar untuk menghampat implementasi putusan MK. Menurut dia, dapat dipastikan bahwa Baleg turut menyoroti putusan MK dalam melakukan penyusunan RUU Pilkada.
"Putusan MK tentu dijadikan perhatian dalam penyusunan RUU," ucap Awiek. Berdasarkan informasi yang diperoleh Kompas.com, revisi UU Pilkada akan dilakukan secara kilat.
Rapat kerja akan digelar pada Rabu pagi pukul 10.00 WIB, dilanjutkan rapat panitia kerja pembahasan revisi UU Pilkada pada pukul 13.00 WIB, dan akan diputuskan pada Rabu malam pukul 19.00 WIB.
Ketua DPP PDI-P Ronny Talapessy berpandangan, upaya revisi UU Pilkada tersebut bertujuan untuk menghambat putusan MK agar tidak langsung berlaku pada Pilkada 2024.
"Iya kita lihat, kok tiba-tiba ada RUU Pilkada. Dalam hal ini kan tidak ada (dibahas). Padahal sudah diuji di MK. Kok tiba-tiba ada RUU Pilkada?" kata Ronny di Kantor DPP PDI-P, Selasa.
Dapat langgar konstitusi
Apakah akal-akalan pemerintah dan DPR ini dapat dibenarkan secar hukum?
Patut diketahui, putusan MK bersifat final sehingga tak dapat direvisi. Sifat final putusan MK bahkan merupakan amanat UUD 1945 hasil amendemen ketiga yang tercantum secara eksplisit pada Pasal 24C ayat (1).
"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum," bunyi ayat tersebut.
Dalam hal ambang batas pencalonan pilkada ini, MK sama sekali tidak memerintahkan perbaikan atas pasal pencalonan yang diputus inkonstitusional pada UU Pilkada, sehingga tindak lanjut oleh pemerintah dan DPR tak mempunyai alasan hukum.
Selama ini, jika tidak ada klausul tertentu dari MK terkait keberlakuan sebuah putusan MK, putusan itu otomatis langsung berlaku dan mengikat.
Berbeda halnya dengan ketika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Dalam putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 itu, MK memerintahkan perbaikan dalam 2 tahun.
Lalu, dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 tentang ambang batas parlemen, MK secara eksplisit menyerahkan pengaturan lebih lanjut terkait angka ambang batas parlemen yang relevan kepada pembentuk undang-undang, sehingga pemerintah dan DPR perlu merevisi UU Pemilu guna
menindaklanjuti perintah MK.
Pakar hukum pidana Universitas Andalas Feri Amsari mengamini hal itu. Ia menyatakan, putusan MK soal threshold calon kepala daerah tersebut mestiberlaku semenjak dibacakan. Pasalnya, putusan MK tak memuat ketentuan penundaan pemberlakuan saat pembacaan putusan.
"Putusan MK berlaku sejak saat dibacakan, sehingga dengan sendirinya maka akan diberlakukan untuk penentuan syarat penetapan calon di 2024 ini," kata Feri kepada Kompas.com, Selasa.
"Apalagi di dalam putusan kan tidak disebutkan penundaan penerapannya, oleh sebab itu sudah pasti diberlakukan untuk saat ini," sambung dia.
Feri juga menyebut, putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah adalah putusan yang positif untuk menyelamatkan iklim demokrasi di Indonesia karena meminimalisasi kemungkinan pilkada hanya diikuti calon tunggal.
"Jadi ini putusan yang bisa disambut gembira karena betul-betul menyelamatkan potensi permainan demokrasi dengan upaya mempermainkan masyarakat pemilih," ujar Feri seperti dikutip dari kompas
Berikut bunyi pasal sebelum diubah MK:
Pasal 40
(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.
(3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam aturan itu, perhitungan mengacu pada jumlah kursi DPRD di daerah yang terkait. Kini, MK mengubah aturan tersebut.
Acuannya kini kepada jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT).
MK mengubah Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016. Pasal tersebut kini berbunyi:
“Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut
b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut
c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta), partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut
d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta), partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di kabupaten/kota tersebut
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di kabupaten/kota tersebut
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di kabupaten/kota tersebut
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di kabupaten/kota tersebut
Selain itu, MK juga menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.***