Pernyataan tersebut ia sampaikan kepada awak media usai melakukan tinjauan udara menggunakan helikopter ke lokasi banjir dan longsor pada hari Sabtu tanggal 29 November 2025 di mana ia menyoroti kondisi alam yang masih terjaga meskipun terjadi musibah.
Rio menjelaskan bahwa faktor utama yang memicu terjadinya banjir dan tanah longsor adalah tingginya intensitas curah hujan yang berlangsung secara terus-menerus selama beberapa hari sehingga menyebabkan tanah menjadi sangat jenuh air dan akhirnya mengakibatkan longsor di berbagai titik.
Ia menambahkan bahwa banyak pohon di area hutan yang ikut tergeser karena derasnya hujan yang turun sehingga memperburuk situasi longsor yang terjadi di sejumlah lokasi yang tersebar di wilayah tersebut.
Bencana alam berupa banjir dan longsor ini telah menimpa sebanyak 62 titik yang berada di delapan kabupaten serta kota di Sumatera Utara dengan dampak paling berat dialami oleh Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga yang mengalami kerusakan infrastruktur dan korban jiwa.
Hasil pemeriksaan mendalam menunjukkan bahwa penyebab banjir dan longsor di wilayah utara Pulau Sumatera tidak semata-mata karena curah hujan yang ekstrem melainkan juga dipengaruhi oleh faktor degradasi lingkungan hidup serta perubahan penggunaan lahan yang mengurangi daya dukung alam terhadap air.
Bukti dari pemantauan citra satelit serta sistem pengawasan hutan negara dari Kementerian Kehutanan mengindikasikan bahwa luas hutan alam yang tersisa di Sumatera Utara saat ini hanya sekitar 10 hingga 14 juta hektare setelah mengalami penyusutan signifikan.
Dalam kurun waktu dari tahun 1990 hingga 2024 hutan alam di provinsi ini banyak yang dialihfungsikan menjadi area perkebunan sawit serta lahan pertanian kering dan hutan produksi yang menyebabkan hilangnya fungsi ekologis alami.
Penyebab musibah di bagian utara Sumatera ini saling terkait di mana faktor pertama adalah kondisi cuaca buruk akibat siklon tropis bernama Senyar yang menerjang wilayah Sumatera bagian utara serta Selat Malaka pada akhir bulan November 2025 sehingga meningkatkan volume hujan secara drastis.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Teuku Faisal Fathani menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya bukan wilayah yang sering dilanda siklon tropis karena biasanya fenomena tersebut terjadi di perairan Pasifik barat atau utara yang kemudian melintasi Filipina dan berakhir di Laut Cina Selatan.
Namun karena adanya ketidaknormalan atmosfer siklon tropis Senyar terbentuk di Selat Malaka di mana suhu air yang hangat di kawasan itu memicu pembentukan awan hujan dalam jumlah besar yang tidak biasa.
Siklon tersebut terperangkap di antara pegunungan tinggi Sumatera dan Semenanjung Malaysia sehingga berputar di tempat dan menyebabkan hujan deras berlangsung lebih dari dua atau tiga hari dengan intensitas mencapai 380 milimeter yang setara dengan curah hujan satu bulan penuh dalam sehari saja.
Faktor kedua yang berkontribusi terhadap banjir adalah rusaknya ekosistem alam serta pergeseran tutupan lahan yang menurunkan kemampuan wilayah untuk menampung air hujan secara efektif sehingga mempercepat aliran permukaan.
Seorang dosen dari Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika di Institut Teknologi Bandung bernama Dr. Heri Andreas menyatakan bahwa masalah banjir tidak hanya berkaitan dengan volume hujan yang turun melainkan juga bagaimana air tersebut diterima serta diserap dan dikelola oleh permukaan bumi di bawahnya.
Sebagian air hujan akan meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai limpasan di mana rasio antara keduanya sangat dipengaruhi oleh jenis tutupan lahan dan sifat tanah di lokasi tersebut.
Menurut Heri wilayah yang masih ditutupi oleh vegetasi alami seperti hutan primer atau lahan basah memiliki kapasitas penyerapan air yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan area yang telah diubah menjadi pemukiman penduduk atau ladang pertanian tanpa pohon penahan.
Ketika kawasan tersebut mengalami degradasi kemampuan infiltrasi airnya akan menurun secara tajam sehingga meningkatkan volume limpasan yang berpotensi menyebabkan banjir kilat di sungai-sungai sekitar.
Ia menekankan pentingnya menjaga kawasan resapan air alami seperti hutan serta rawa dan pinggir sungai karena area tersebut berfungsi sebagai penyangga alami untuk menyerap kelebihan air dan mengurangi risiko limpasan berlebih yang memicu bencana.
Data dari Global Forest Watch mencatat bahwa dari tahun 2002 hingga 2024 provinsi Sumatera Utara telah kehilangan sekitar 390 ribu hektare hutan primer basah yang merupakan habitat penting bagi keanekaragaman hayati.
Selain itu penyusutan tutupan hutan secara keseluruhan dari tahun 2001 sampai 2024 mencapai 1,6 juta hektare yang juga menghasilkan emisi karbon dioksida ekuivalen sebanyak 810 juta ton ke atmosfer.
Analisis dari organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia berdasarkan data pemantauan hutan nasional dari Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa hutan alam yang tersisa di Sumatera Utara kini hanya berkisar antara 10 hingga 14 juta hektare setelah mengalami konversi lahan secara masif.
Dalam periode 1990 hingga 2024 hutan alam di wilayah ini banyak yang diganti dengan perkebunan komersial serta lahan pertanian kering dan hutan tanaman industri yang mengganggu keseimbangan ekosistem.
Perubahan fungsi lahan ini telah membuat sejumlah daerah aliran sungai menjadi sangat rentan terhadap erosi dan banjir di mana salah satu contohnya adalah Daerah Aliran Sungai Batang Toru yang mencakup Kabupaten Tapanuli Utara serta Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sebagai benteng terakhir hutan tropis di provinsi tersebut.
Menurut Greenpeace selama tahun 1990 hingga 2022 deforestasi di Daerah Aliran Sungai Batang Toru telah mencapai 70 ribu hektare atau setara dengan 21 persen dari total luas kawasan tersebut sehingga menyisakan hutan alam hanya sekitar 167 ribu hektare atau 49 persen saja.
Konversi hutan di daerah aliran sungai itu semakin marak setelah diterbitkannya berbagai izin usaha berbasis lahan dan eksploitasi sumber daya yang mencakup luas hingga 94 ribu hektare atau 28 persen dari keseluruhan area.
Sebagian besar izin tersebut meliputi pemanfaatan hutan untuk produksi serta wilayah pertambangan dan perkebunan kelapa sawit yang berkontribusi terhadap hilangnya tutupan pohon penahan air.
Pencocokan data citra satelit perubahan bentang alam di Daerah Aliran Sungai Batang Toru menggunakan alat pemantauan seperti Google Earth dan Google Map pada tahun 2001 serta 2020 dan 2025 menunjukkan adanya transformasi signifikan dari hutan lebat menjadi lahan terbuka.
Upaya untuk mendapatkan konfirmasi lebih lanjut telah dilakukan melalui pesan teks dan panggilan telepon kepada Kepala Penerangan Komando Daerah Militer I Bukit Barisan berpangkat Kolonel Infanteri Asrul Kurniawan Harahap namun hingga Jumat siang tanggal 5 Desember 2025 belum ada respons yang diterima darinya.
Editor: 91224 R-ID Elok

