
Repelita Bangkalan - Dua ekor ulat ditemukan dalam porsi Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMAN 1 Kamal, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, pada Senin, 27 Oktober 2025.
Temuan tersebut terjadi pada satu porsi sayur daun singkong yang belum sempat dikonsumsi oleh siswa dan langsung dikonfirmasi oleh Kepala SMAN 1 Kamal, Mohammad Sairi.
Foto ulat yang ditemukan sempat beredar di grup WhatsApp dan memicu perhatian publik, termasuk dari kalangan warganet.
Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Gili Timur, Diandra Dieva Pertiwi, menyatakan bahwa ulat tersebut merupakan jenis Samia Cynthia Ricini, yang hidup alami di batang dan daun singkong.
Diandra menyebut bahwa ulat jenis ini secara teknis dapat dikonsumsi dan memiliki kandungan protein yang tinggi, namun tetap mengakui adanya kelalaian dalam proses penyajian makanan.
Ia menegaskan bahwa evaluasi akan dilakukan untuk meningkatkan pengawasan dapur MBG agar kejadian serupa tidak terulang.
Pernyataan tersebut memicu reaksi kontra dari warganet, seperti yang terlihat dalam unggahan akun X @nuicemedia pada Kamis, 30 Oktober 2025.
“Emang bener ada ulat atau larva serangga yang bisa dimakan, tapi nggak di menu MBG juga. Bener tinggi protein tapi nggak semua orang toleran sama protein serangga, yang ada badan langsung nolak karena dikira zat berbahaya dan berujung alergi,” tulis seorang warganet.
“Itu namanya kontaminasi. Ulat sebagai pangan dengan tingkat protein tinggi silakan dimakan, tapi bukan berarti makanan yang dicap steril dari proses boleh ada ulat dan dibilang itu protein. Heran, yang begini aja dinormalisasi mulu,” imbuh warganet lainnya.
“Udah kontaminasi jelas begini masih dibilang aman untuk dikonsumsi? Gws deh lu pada,” sindir komentar lain.
Secara ilmiah, ulat Samia Cynthia Ricini dikenal sebagai ulat sutra eri India dan telah dikonsumsi oleh suku Bodo di Assam, India, sejak puluhan tahun lalu.
Penelitian tahun 2020 dari pusat riset Mesir menyebut bahwa ulat ini memiliki kandungan nutrisi tinggi, termasuk protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan kalori sebesar 430,19 kkal.
Rasa khas ulat ini berasal dari kandungan lemaknya, yang membuatnya populer di kalangan masyarakat lokal tertentu.
Meski demikian, peneliti tetap menyarankan agar dilakukan kajian lebih lanjut terhadap serangga yang dapat dikonsumsi, termasuk evaluasi kandungan mineral dan potensi unsur toksik.
Salah satu peneliti, Kushal Choudhury, menyatakan bahwa setiap serangga yang diklaim layak konsumsi harus melalui proses penelitian menyeluruh untuk memastikan keamanan konsumsi publik.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

