Repelita Khartoum - Abubakr Ahmed, anggota perlawanan rakyat di el-Fasher, Darfur Utara, mengaku siap gugur demi mempertahankan kota dari serangan milisi Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
Selama 550 hari, ia bertahan bersama kelompok warga bersenjata yang membantu tentara Sudan melindungi kota tersebut hingga akhirnya jatuh pada 26 Oktober 2025.
Setelah tentara Sudan menyerah dan menarik pasukannya, sebanyak 250 ribu warga sipil yang terkepung dan kelaparan terpaksa menghadapi RSF sendirian.
Dalam bentrokan terakhir, Ahmed terluka akibat ledakan granat berpeluncur roket yang mengenai mobil di dekatnya. Ia berhasil melarikan diri, tidak seperti banyak rekannya yang tewas.
Menurut laporan Jaringan Dokter Sudan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam tiga hari pertama setelah el-Fasher direbut, RSF menewaskan sedikitnya 1.500 orang, termasuk 460 pasien dan pendamping mereka di Rumah Sakit al-Saud. Video yang telah diverifikasi menunjukkan pasukan RSF berdiri di atas tumpukan mayat dan mengeksekusi pemuda tak bersenjata.
Pembantaian tersebut memicu eksodus besar-besaran. Lebih dari 33.000 orang mengungsi ke kota-kota terdekat seperti Tawila dan Tine. Namun, sebagian besar warga masih terjebak di el-Fasher, bersembunyi dari pasukan RSF, atau menempuh perjalanan melelahkan melintasi gurun tanpa makanan dan air.
Mohammed, salah satu penyintas yang tiba di Tawila pada 28 Oktober 2025, mengatakan bahwa mayoritas warga non-Arab tidak akan tinggal di el-Fasher karena takut dianiaya oleh RSF yang didominasi suku Arab nomaden. Ia menyebut bahwa pemisahan etnis kini menjadi kenyataan pahit di wilayah tersebut.
Pemimpin RSF, Mohamad Hamdan “Hemedti” Dagalo, berjanji akan menyelidiki pelanggaran yang terjadi. Namun, para penyintas menilai pembantaian di el-Fasher sebagai upaya sistematis pembersihan etnis terhadap penduduk non-Arab. Laporan Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Yale (HRL) pada 28 Oktober 2025 menunjukkan bukti pembunuhan massal saat warga mencoba melarikan diri.
Sheldon Yett, perwakilan UNICEF untuk Sudan, menyebut el-Fasher sebagai ladang pembantaian. Ia membandingkan situasi tersebut dengan genosida Rwanda dan menyatakan bahwa banyak relawan bantuan lokal kini berada dalam bahaya akut. UNICEF kehilangan kontak dengan staf yang mengelola dapur umum dan layanan kemanusiaan lainnya.
RSF memiliki sejarah menyasar pekerja bantuan lokal, sering kali menuduh mereka berkolaborasi dengan tentara. Banyak mitra nasional UNICEF kini berpindah-pindah dan bersembunyi karena ketakutan, meski belum dapat dipastikan nasib mereka.
Kekejaman RSF memicu kecaman dari PBB, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Mereka menyerukan perlindungan warga sipil dan kepatuhan terhadap hukum internasional. Namun, para analis menilai bahwa komunitas internasional gagal mencegah kekejaman tersebut karena tidak mengambil langkah diplomatik yang tegas.
Hamid Khalafallah, pakar Sudan dari Universitas Manchester, menyebut bahwa pengabaian komunitas internasional merupakan bentuk pengkhianatan terhadap warga sipil. Jean-Baptiste Gallopin dari Human Rights Watch menyoroti pola kekejaman RSF di wilayah yang baru direbut, termasuk el-Geniena dan Aradamata.
Gallopin menekankan bahwa impunitas yang berkepanjangan membuat RSF merasa nyaman merekam kejahatan mereka sendiri. Ia menyayangkan fokus para diplomat yang hanya mengejar gencatan senjata tanpa mempertimbangkan perlindungan warga sipil atau sanksi terhadap pelaku kekejaman.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

