Repelita Jakarta - Pemerhati Politik dan Kebangsaan, M Rizal Fadillah, kembali melontarkan kritik tajam terhadap Presiden Prabowo Subianto terkait sikapnya dalam polemik proyek Kereta Cepat Whoosh yang merupakan warisan pemerintahan sebelumnya.
Rizal menilai pernyataan Prabowo yang menyatakan siap bertanggung jawab atas proyek tersebut justru menunjukkan ketergantungan dan lemahnya kemandirian pemerintahan baru.
Ia menyebut bahwa pernyataan tersebut mengejutkan, terutama setelah Menteri Keuangan Purbaya sebelumnya mempertanyakan penggunaan dana APBN untuk menutup utang proyek yang dinilai tidak rasional.
Menurut Rizal, proyek kereta cepat buatan China itu sejak awal sudah sarat kontroversi dan kini justru menimbulkan beban baru bagi negara.
Ia menilai bahwa langkah Presiden Prabowo seolah-olah membatalkan sikap kritis Menteri Keuangan dan justru memperlemah kepercayaan publik terhadap arah pemerintahan.
Rizal menyebut bahwa rakyat kecewa karena sikap Prabowo yang awalnya tegas kini berubah menjadi lunak dan tidak konsisten.
Ia menambahkan bahwa sikap tersebut tidak mengherankan jika melihat karakter Prabowo yang dinilainya tidak independen dan masih berada dalam pengaruh kuat Presiden sebelumnya.
Menurutnya, proyek Whoosh menjadi bukti bahwa Prabowo tidak mampu mengambil keputusan secara mandiri dan justru tersandera oleh kepentingan masa lalu.
Rizal menyebut bahwa menjadi ironi besar ketika tanggung jawab atas proyek bermasalah justru dipikul oleh pemimpin baru, sementara pelaku kebijakan sebelumnya telah menikmati hasilnya.
Ia menegaskan bahwa rakyat kini harus menanggung beban dari keputusan yang tidak mereka buat, sementara pemimpinnya justru memilih untuk menanggung warisan yang penuh masalah.
Lebih lanjut, Rizal menduga bahwa proyek Whoosh bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan simbol keterikatan terhadap kekuatan asing yang mengendalikan arah kebijakan nasional.
Ia menyindir bahwa ada kekuatan besar yang disebutnya sebagai Jin Ping, simbol dari dominasi pengaruh China yang menurutnya telah menundukkan para pemimpin Indonesia.
Rizal menggambarkan Jin Ping sebagai sosok yang mampu membuat para pemimpin tunduk hanya dengan tekanan ekonomi dan janji investasi, yang pada akhirnya menjebak dalam ketergantungan utang.
Ia menyebut bahwa baik Jokowi maupun Prabowo tidak berdaya menghadapi tekanan tersebut dan justru memilih untuk mengikuti arahan demi kelangsungan kekuasaan.
Rizal juga menyinggung hubungan Prabowo dengan China yang menurutnya sudah terjalin sejak sebelum pelantikan dan terus berlanjut setelah menjabat sebagai presiden.
Ia menyebut bahwa Prabowo telah beberapa kali menghadap pemimpin China dalam rangka menjaga stabilitas politik dan keamanan dalam negeri.
Menurut Rizal, sejak saat itu arah pemerintahan mulai bergeser dari semangat reformasi menjadi kompromi terhadap kepentingan luar.
Ia menilai bahwa reformasi Polri yang sempat digagas pun akhirnya diredam, dan proyek Whoosh kembali dilanjutkan sebagai bentuk kepatuhan terhadap kekuatan asing.
Rizal menegaskan bahwa rakyat tidak perlu lagi terkejut dengan sikap Prabowo yang dinilainya plintat-plintut dan mudah berubah di bawah tekanan.
Ia memperingatkan bahwa proyek Whoosh adalah simbol penjajahan gaya baru dan bahwa Prabowo, seperti halnya Jokowi, telah gagal menjaga kedaulatan bangsa.
Menurutnya, Prabowo bukanlah solusi, melainkan masalah baru bagi Indonesia karena tetap berada dalam bayang-bayang kekuasaan lama dan pengaruh asing yang kuat.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

