Repelita Jakarta - Sosiolog perkotaan dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amir, mengungkapkan fakta menarik terkait awal mula kerja sama proyek kereta cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh antara Indonesia dan China.
Pernyataan tersebut disampaikan Sulfikar dalam program ROSI yang tayang pada Minggu, 2 November 2025, dengan menyoroti peran penting diplomasi tingkat tinggi yang terjadi pada awal pemerintahan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Ia menjelaskan bahwa pertemuan penting antara Jokowi dan Presiden China, Xi Jinping, berlangsung pada Mei 2014 di Jakarta, bertepatan dengan peringatan Konferensi Asia-Afrika.
Pertemuan tersebut menjadi titik awal penguatan hubungan bilateral kedua negara, khususnya dalam bidang infrastruktur dan investasi.
Sulfikar menyebut bahwa pertemuan itu terjadi hanya sebulan setelah Jokowi melakukan kunjungan ke China, di mana pembahasan kerja sama infrastruktur transportasi modern, termasuk proyek kereta cepat, mulai dibicarakan secara serius.
Menurutnya, dalam pertemuan lanjutan di Jakarta, penandatanganan kerja sama antara Indonesia dan China dilakukan secara resmi, mencantumkan proyek kereta cepat sebagai bagian dari kesepakatan.
Ia menambahkan bahwa dalam momen penting tersebut, Jokowi tidak sendiri, melainkan didampingi oleh Sofyan Djalil yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Sulfikar menekankan bahwa kerja sama tersebut bukanlah keputusan mendadak, melainkan hasil dari proses panjang yang melibatkan pembicaraan strategis antara kedua negara.
Ia menyatakan bahwa penandatanganan tersebut menjadi fondasi awal keterlibatan China dalam pembangunan kereta cepat di Indonesia.
“Artinya, jauh sebelum pemerintah Indonesia mengatakan proyek pembangunan kereta cepat itu diserahkan ke China, sudah ada deal antara Jokowi dan Xi Jinping secara resmi dan ditandatangani di Jakarta,” ujar Sulfikar.
Pernyataan tersebut memberikan perspektif baru dalam memahami dinamika politik dan ekonomi di balik proyek kereta cepat pertama di Asia Tenggara yang kini menjadi ikon modernisasi transportasi nasional.
Namun, proyek ini kini menuai polemik karena beban utang yang ditimbulkan dinilai cukup besar dan menimbulkan kekhawatiran publik.
Masih dalam program yang sama, Sulfikar menilai bahwa kesepakatan kerja sama tersebut bukan soal benar atau salah, melainkan soal dampaknya terhadap perencanaan proyek yang dinilai tidak matang.
Ia mengungkapkan bahwa perencanaan proyek kereta cepat oleh pihak China tidak dilakukan secara menyeluruh, karena hanya mengandalkan studi kelayakan yang sebelumnya dilakukan oleh Jepang.
Menurutnya, Jepang telah melakukan studi kelayakan secara mendalam dengan titik pemberhentian yang lebih strategis, yakni dari Tugu Atas di Jakarta hingga Stasiun Bandung, yang disebutnya sebagai pendekatan center to center.
Sebaliknya, China hanya mengkaji ulang studi kelayakan Jepang dalam waktu tiga bulan dan menyusun anggaran tanpa dasar studi empiris yang kuat.
Sulfikar menilai bahwa pendekatan tersebut menjadi salah satu penyebab ketidaksiapan proyek Whoosh dalam pelaksanaannya.
Ia juga mengulas kembali bagaimana proyek kereta cepat ini sempat menjadi rebutan antara Jepang dan China pada periode 2014–2015.
Jepang, melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), telah lebih dahulu melakukan studi kelayakan sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, ketika pemerintahan berganti ke era Jokowi, pemerintah Indonesia membuka lelang terbuka dan China masuk sebagai pesaing Jepang.
Jepang sempat mengajukan proposal kedua yang lebih kompetitif pada 26 Agustus 2015, menawarkan investasi sebesar 6,2 miliar dolar AS dengan bunga pinjaman hanya 0,1 persen per tahun dan masa tenggang 10 tahun.
China kemudian mengajukan proposal pada 11 Agustus 2015 dengan nilai investasi sebesar 5,5 miliar dolar AS, menawarkan skema kepemilikan 40 persen China dan 60 persen konsorsium BUMN Indonesia.
China juga menjanjikan bahwa proyek tersebut tidak akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta menjanjikan transfer teknologi kepada Indonesia.
Dengan tawaran yang lebih murah dan dukungan dari Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno, pemerintah Indonesia akhirnya memilih proposal dari China, meskipun keputusan tersebut mengecewakan pihak Jepang.
Sementara itu, sosok Sofyan Djalil yang mendampingi Jokowi dalam penandatanganan kerja sama tersebut merupakan tokoh senior yang telah menduduki berbagai posisi strategis di pemerintahan.
Ia pernah menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri BUMN, Menko Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, hingga Menteri Agraria dan Tata Ruang.
Sebelum terjun ke dunia politik, Sofyan Djalil juga memiliki rekam jejak panjang di sektor korporasi, termasuk sebagai komisaris di sejumlah perusahaan besar nasional.
Dengan latar belakang tersebut, kehadiran Sofyan Djalil dalam momen penting penandatanganan kerja sama proyek Whoosh menunjukkan bahwa keputusan tersebut merupakan bagian dari strategi besar pemerintahan Jokowi dalam membangun infrastruktur nasional.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

