Repelita Jakarta - Kongres III Projo yang berlangsung pada awal November 2025 menjadi titik balik dalam lanskap politik pascarezim Presiden Joko Widodo. Untuk pertama kalinya sejak berdiri, organisasi relawan yang selama satu dekade dikenal sebagai pasukan pendukung Jokowi secara resmi menghapus wajah sang presiden dari logo mereka dan menyatakan arah politik baru.
Budi Arie Setiadi kembali terpilih sebagai Ketua Umum Projo periode 2025–2030 melalui sidang pleno kongres. Dalam pidatonya yang disampaikan di Hotel Sahid, Jakarta Pusat, pada Minggu, 2 November 2025, Budi menyatakan niat untuk bergabung dengan Partai Gerindra, bukan PSI yang selama ini diasosiasikan sebagai kendaraan politik keluarga Jokowi.
Langkah tersebut dibaca publik sebagai sinyal kuat bahwa Jokowi mulai ditinggalkan oleh lingkaran terdekatnya. Projo, yang selama bertahun-tahun menjadi benteng pembela Jokowi, kini memilih jalur baru yang berseberangan. Perubahan logo dan arah dukungan politik dianggap sebagai bentuk pelepasan simbolik dari pengaruh Jokowi.
Absennya Jokowi dalam kongres tersebut semakin memperkuat kesan keterasingan politik. Ia hanya mengirimkan video singkat sebagai bentuk salam perpisahan. Banyak pihak menafsirkan ketidakhadiran tersebut sebagai gestur dingin, bahkan sebagai bentuk pengakuan bahwa panggung politik bukan lagi miliknya.
Transformasi Projo juga terjadi di tengah bayang-bayang kasus hukum yang menyeret nama Budi Arie. Setelah dicopot dari jabatan Menteri Komunikasi dan Informatika pada September 2025, namanya disebut dalam persidangan kasus suap terkait perlindungan situs judi online. Mahfud MD bahkan menyebut Budi sangat layak menjadi tersangka.
Dalam situasi tersebut, langkah Budi Arie menuju Gerindra dinilai bukan sebagai manuver ideologis, melainkan sebagai strategi penyelamatan politik. Jokowi yang dulu menjadi pelindung, kini tak lagi mampu memberikan perlindungan. Maka, berpindah ke Gerindra menjadi pilihan pragmatis untuk bertahan di tengah tekanan.
Jurnalis senior Edy Mulyadi dalam tulisannya kepada redaksi pada 3 November 2025 menyebut bahwa fenomena ini bukan sekadar perpindahan relawan, melainkan deklarasi diam bahwa Jokowi tak lagi sakti. Ia menilai bahwa aura kekuasaan yang dulu membuat siapa pun tunduk, kini telah sirna.
Edy juga menyoroti bahwa Projo, yang lahir dari semangat “Jokowi adalah rakyat”, kini menjelma menjadi “Projo tanpa Jokowi”. Menurutnya, alasan resmi penghapusan wajah Jokowi dari logo Projo terdengar normatif, namun publik tak mudah dikelabui. Ia menyebut bahwa perubahan ini bukan penyadaran ideologis, melainkan strategi bertahan hidup di bawah matahari baru bernama Prabowo-Gibran.
Dalam tulisannya, Edy menyimpulkan bahwa Projo pergi, Jokowi ditinggal sendiri. Ia menyebut bahwa Prabowo kini memiliki justifikasi moral dan politik untuk berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa bayang-bayang Jokowi. Menurutnya, kesetiaan dalam politik hanya berlaku selama listrik kekuasaan masih mengalir, dan waktu Jokowi telah habis.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

