
Repelita Jakarta – Keputusan organisasi relawan Pro Jokowi (Projo) menghapus wajah Presiden Joko Widodo dari logo resmi mereka dinilai bukan sekadar perubahan simbolik, melainkan manuver politik yang sarat makna dalam menghadapi dinamika kekuasaan nasional.
Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, menyatakan bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari transformasi kelembagaan yang ingin menegaskan arah baru organisasi.
“Ini bukan lagi soal pro individu. Kita ingin memperkuat kelembagaan, bukan kultus personal,” ujarnya.
Sejak didirikan pada 2013, Projo dikenal sebagai mesin relawan utama Jokowi dalam dua kali pemilihan presiden.
Selama lebih dari satu dekade, wajah Jokowi menjadi identitas visual dan simbol loyalitas politik Projo.
Namun kini, di tengah transisi menuju pemerintahan Prabowo-Gibran, perubahan logo itu menjadi penanda babak baru dalam perjalanan politik mereka.
Pengamat politik Iqbal Themi menilai bahwa penghapusan wajah Jokowi dari logo bukan berarti pemutusan hubungan politik, melainkan bentuk adaptasi yang disebutnya sebagai poligami politik.
“Sulit membayangkan Projo benar-benar melepaskan Jokowi. Dengan Gibran berada di pusat kekuasaan, mereka tetap punya jalur genetik ke patron lama, yakni Jokowi,” kata Iqbal kepada wartawan, Selasa 4 November 2025.
Ia menjelaskan bahwa langkah tersebut merupakan strategi umum dalam transisi kekuasaan di Indonesia, terutama bagi kelompok relawan yang tumbuh melalui patronase politik.
“Ketika pusat kekuasaan bergeser, mereka harus mengikuti arus. Poligami politik ini cara menjaga kontinuitas pengaruh tanpa kehilangan akses ke jaringan atau patronase lama,” ujarnya.
Menurut Iqbal, Projo sedang mengamankan kesinambungan pengaruh dalam lanskap kekuasaan baru yang memiliki karakter dan orbit politik berbeda.
“Prabowo membawa gaya kepemimpinan, jaringan ekonomi, dan ekosistem kekuasaannya sendiri. Projo paham itu. Mereka merapikan simbol lama bukan pertanda pisah jalan, tapi agar tidak terjebak dalam romantisme figur lama,” terangnya.
Ia juga menyebut bahwa langkah ini merupakan upaya Projo untuk menghindari posisi marginal dalam konfigurasi kekuasaan yang kini dipimpin oleh Prabowo.
“Projo membaca arah angin. Tidak ingin menjadi ‘anak tiri’ dalam rumah kekuasaan baru yang sudah berganti. Dengan merawat Jokowi dan menyapa Prabowo, Projo memastikan kursi tetap tersedia di meja kekuasaan,” pungkasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

