
Repelita Blitar - Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, menyampaikan peringatan bahwa bentuk penjajahan modern kini hadir melalui algoritma dan penguasaan data.
Pernyataan tersebut disampaikan Megawati dalam seminar internasional memperingati 70 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang digelar di Blitar, Jawa Timur, pada Sabtu, 1 November 2025.
Ia menilai bahwa kolonialisme belum sepenuhnya berakhir, melainkan telah berubah bentuk menjadi neokolonialisme digital yang lebih halus namun tidak kalah berbahaya.
Megawati menyampaikan bahwa jika dahulu penjajahan dilakukan dengan kekuatan militer seperti meriam dan kapal perang, maka kini bentuknya hadir melalui kecanggihan teknologi, algoritma, dan penguasaan data global.
Ia mengaitkan perjuangan dekolonisasi tahun 1955 dengan tantangan baru yang dihadapi negara-negara berkembang dalam menghadapi dominasi digital oleh negara-negara maju.
Dari Blitar, Megawati menyerukan kepada dunia untuk membangun tatanan global baru yang tidak dikendalikan oleh algoritma tanpa hati nurani, melainkan oleh nilai-nilai kemanusiaan.
Ia menegaskan bahwa kecerdasan buatan, big data, dan sistem keuangan digital lintas batas telah melahirkan bentuk baru dari imperialisme global yang mengancam kedaulatan negara-negara berkembang.
Menurut Megawati, negara maju kini menjadi pemilik dan pengendali data, sementara negara berkembang hanya menjadi pengguna algoritma yang tidak mereka kuasai secara penuh.
Ia menyampaikan bahwa manusia kini direduksi menjadi angka dan data telah berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan tanpa kendali.
Megawati yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menegaskan bahwa tantangan digital bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut kemanusiaan dan kedaulatan bangsa.
Ia mengutip laporan UNCTAD Digital Economy Report 2024 yang menyebutkan bahwa 70 persen data dunia dikuasai oleh segelintir perusahaan teknologi global yang sebagian besar berbasis di Amerika Serikat dan Eropa.
Sementara itu, negara seperti Indonesia hanya menjadi pasar sekaligus pemasok data tanpa memiliki kedaulatan penuh atas infrastruktur digitalnya.
Ia juga menyoroti bahwa sebagian besar layanan penyimpanan awan dan basis data pemerintah masih bergantung pada penyedia asing, yang menimbulkan risiko kebocoran dan ketergantungan strategis.
Megawati menegaskan bahwa tanpa kendali atas teknologi dan data, kemerdekaan sejati sulit dicapai oleh bangsa-bangsa berkembang.
Ia menyerukan perlunya aturan moral global baru atau a new global ethics untuk menata ulang kekuasaan dalam ranah teknologi, ekonomi, dan informasi.
Megawati menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan keberanian moral seperti yang pernah ditunjukkan oleh Presiden pertama RI, Sukarno, dalam menghadapi tantangan global.
Ia menekankan bahwa nilai-nilai Pancasila dapat menjadi pedoman etik dalam menghadapi era digital dan menjadi dasar dalam membingkai kemajuan teknologi dengan etika kemanusiaan.
Menurutnya, Pancasila adalah falsafah universal yang menyeimbangkan antara dunia material dan spiritual, antara hak individu dan tanggung jawab sosial, serta antara kedaulatan nasional dan solidaritas antarbangsa.
Megawati menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa dunia baru yang diharapkan bukanlah dunia yang tunduk pada mesin dan modal, melainkan dunia yang menempatkan manusia sebagai pusat peradaban.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

