Repelita Bandung - Pemerhati politik dan kebangsaan M Rizal Fadillah menyoroti langkah Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi yang menyatakan akan mengganti logo organisasi tersebut agar tidak lagi menampilkan wajah Presiden Joko Widodo.
Menurut Rizal, pernyataan Budi Arie yang menyebut bahwa Projo bukan kepanjangan dari Pro Jokowi merupakan bentuk pengelakan yang tidak masuk akal, mengingat logo lama Projo jelas menampilkan wajah Jokowi sebagai simbol utama.
Ia menilai bahwa Budi Arie telah mengikuti jejak Jokowi dalam hal menghindari tanggung jawab dan cenderung mengaburkan fakta yang sudah diketahui publik secara luas.
Rizal menyebut bahwa Budi Arie, yang sebelumnya diberhentikan dari jabatan Menteri Koperasi dan dikaitkan dengan isu judi online, kini mencoba membawa Projo bergabung ke dalam barisan Gerindra melalui Kongres Projo yang digelar di Hotel Sahid.
Dalam kongres tersebut, Budi mulai memuji Prabowo Subianto dan menyuarakan dukungan melalui teriakan peserta yang menyebut “Prabowo di hati rakyat”, serta menyatakan niatnya untuk bergabung ke Gerindra dengan meminta restu dari forum yang dihadiri Sufmi Dasco.
Rizal menilai bahwa masyarakat tidak terlalu peduli dengan arah politik Projo maupun lompatan politik Budi Arie, namun tetap mencermati bahwa langkah tersebut mencerminkan budaya politik yang pragmatis dan tidak sehat.
Ia menyindir bahwa Gerindra kini tampak seperti tempat penampungan bagi tokoh-tokoh yang bermasalah, dan menyebut bahwa Budi Arie bukanlah figur yang layak dijadikan aset politik, terutama karena keterkaitannya dengan isu judi online.
Rizal mempertanyakan bentuk logo baru Projo yang akan menggantikan wajah Jokowi, dan menyindir kemungkinan perubahan simbol seperti yang dilakukan PSI dari bunga mawar menjadi gajah, atau bahkan wajah Jokowi menjadi kodok atau menyerupai Prabowo.
Ia juga menyoroti ketidakhadiran Jokowi dalam Kongres Projo sebagai sinyal bahwa mantan presiden tersebut telah merestui perubahan arah organisasi, atau justru telah ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Rizal menduga bahwa slogan “Prabowo di hati” yang digaungkan dalam kongres sebenarnya hanyalah strategi untuk mengarahkan dukungan kepada Gibran Rakabuming Raka, sehingga tetap berujung pada kepentingan Jokowi.
Ia mencatat bahwa dalam jadwal acara Kongres, Jokowi dijadwalkan membuka dan Prabowo menutup, namun ketidakhadiran keduanya menunjukkan kebingungan dan ketidakjelasan arah politik yang sedang dimainkan.
Menurut Rizal, Projo yang selama ini menjadikan wajah Jokowi sebagai simbol utama kini mencoba bergeser menjadi bagian dari sayap Gerindra, dengan Budi Arie menjadikan organisasi tersebut sebagai alat perlindungan diri.
Ia menyebut bahwa langkah Budi Arie merupakan bentuk perjudian politik, dengan melempar dadu antara Jokowi dan Prabowo demi kepentingan pribadi.
Rizal mengingatkan bahwa Projo didirikan pada tahun 2013 sebagai kendaraan politik untuk mendukung pencalonan Jokowi, bersama dengan kelompok lain seperti Bara JP, Alap-Alap, dan Pasbata.
Ia menegaskan bahwa Budi Arie, sebagai pendiri dan ketua umum Projo, telah menerima jabatan menteri di era Jokowi dan Prabowo sebelum akhirnya dicopot akibat kontroversi judi online.
Menurut Rizal, Kongres III Projo bukanlah forum pembentukan partai politik, melainkan hanya upaya mengganti wajah dari Jokowi ke Prabowo, meski publik memahami bahwa permainan politik Budi Arie tetap berputar di antara dua tokoh tersebut.
Ia menutup dengan menyatakan bahwa Projo kini mengibarkan bendera dua wajah, yang menurutnya merupakan simbol dari kemunafikan politik bangsa.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

