Repelita Jakarta - Isu mengenai wilayah Xinjiang di Tiongkok kembali menjadi perhatian publik internasional. Sorotan terhadap kondisi masyarakat etnis Uighur semakin meningkat seiring dengan masifnya pemberitaan media asing dan kampanye dari berbagai organisasi luar negeri.
Gerakan Muda Nasional (Gema Nasional) mengimbau masyarakat Indonesia agar tidak langsung mempercayai informasi yang bersumber dari luar negeri. Organisasi ini menilai bahwa narasi yang berkembang sering kali berasal dari satu sisi dan belum tentu mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
Ketua Umum Gema Nasional, Eko Saputra, menyampaikan bahwa dominasi pemberitaan dari media Barat membuat banyak pihak hanya melihat persoalan Xinjiang dari satu sudut pandang. Ia menekankan pentingnya masyarakat Indonesia untuk bersikap kritis dan tidak terjebak dalam narasi tunggal.
Menurut Eko, masyarakat perlu membuka ruang pemahaman dari berbagai perspektif agar tidak mudah terpengaruh oleh opini yang belum tentu akurat. Ia mencontohkan salah satu organisasi internasional yang aktif menyuarakan isu Xinjiang, yakni Campaign for Uyghurs (CFU) yang dipimpin oleh aktivis Rushan Abbas.
Eko mengungkapkan bahwa sejumlah masyarakat di Indonesia mulai mempertanyakan motif di balik kampanye yang dilakukan oleh CFU. Ia menyoroti bahwa posisi beberapa tokoh CFU terhadap konflik Israel-Palestina juga menjadi perhatian publik Indonesia yang mayoritas mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Ia menyebut bahwa masyarakat Indonesia cukup cerdas dalam membaca dinamika global. Menurutnya, publik mulai menyadari bahwa tidak semua narasi asing sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Sejumlah kegiatan yang menghadirkan aktivis luar negeri di Indonesia antara tahun 2023 hingga 2025 sempat menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Beberapa kelompok mahasiswa dan masyarakat menyampaikan penolakan terhadap figur yang dianggap membawa agenda politik asing melalui isu hak asasi manusia.
Gema Nasional menilai bahwa ekspresi publik seperti itu merupakan bagian dari demokrasi yang sehat, selama dilakukan secara damai dan menghormati perbedaan pandangan. Eko menegaskan bahwa sejarah telah mengajarkan bahwa kebencian berbasis etnis atau rasial hanya akan menimbulkan luka kemanusiaan.
Ia menambahkan bahwa verifikasi informasi dan sikap kritis merupakan kunci utama dalam menjaga persatuan bangsa. Menurutnya, masyarakat Indonesia harus mampu menyaring informasi global dengan bijak agar tidak terseret dalam wacana yang berpotensi memecah belah.
Eko berharap agar masyarakat tetap waspada terhadap narasi asing yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan. Ia menekankan bahwa menjaga keharmonisan dalam negeri jauh lebih penting daripada mengikuti opini global yang belum tentu relevan dengan konteks Indonesia.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

