
Repelita Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Gubernur Riau, Abdul Wahid, bukanlah kasus suap seperti yang sempat ramai dibicarakan, melainkan pemerasan yang menyerupai praktik jatah preman.
Hal tersebut disampaikan oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, yang menjelaskan bahwa modus korupsi dalam perkara ini berkaitan dengan penganggaran di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Riau.
Perkara ini pun itu juga terkait dengan penganggaran, yaitu adanya penambahan anggaran di Dinas PUPR yang kemudian masuk modus dugaan tindak pemerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak di Pemerintah Provinsi Riau.
Dalam praktiknya, Abdul Wahid diduga menggunakan dua orang kepercayaannya untuk melakukan pemerasan terhadap pihak Dinas PUPR.
Kedua orang tersebut adalah Tata Maulana dan Dani M Nursalam, yang diketahui memiliki hubungan keorganisasian partai politik dengan Abdul Wahid.
Ketiganya merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjabat sebagai pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB Provinsi Riau.
Abdul Wahid menjabat sebagai Ketua DPW PKB Riau, Dani M Nursalam sebagai Wakil Ketua, dan Tata Maulana sebagai Wakil Sekretaris.
KPK menduga bahwa pemerasan dilakukan dalam konteks penambahan anggaran untuk proyek tertentu di Dinas PUPR, meskipun proyek tersebut belum diungkap secara rinci.
Terkait dengan penambahan anggaran di Dinas PUPR tersebut, kemudian ada semacam japrem atau jatah preman sekian persen begitu untuk kepala daerah. Itu modus-modusnya.
Selain Abdul Wahid, Tata Maulana, dan Dani M Nursalam, KPK juga menangkap delapan orang lainnya yang diduga terlibat dalam jaringan pemerasan tersebut.
Kasus ini menambah daftar panjang praktik korupsi yang melibatkan pejabat daerah dan memperlihatkan pola baru dalam penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan pemerintahan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

