Repelita El-Fasher – Citra satelit terbaru menunjukkan indikasi kuat bahwa pembunuhan massal masih berlangsung di wilayah El-Fasher, Sudan, menurut analisis Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale.
Sudan tengah dilanda perang saudara antara militer dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) sejak April 2023, dengan RSF berhasil merebut El-Fasher setelah pengepungan selama 18 bulan.
Setelah jatuhnya ibu kota Darfur Utara tersebut, laporan kekejaman mulai bermunculan, termasuk eksekusi singkat, kekerasan seksual, penyerangan terhadap pekerja bantuan, penculikan, dan penjarahan.
PBB menyebutkan lebih dari 65 ribu warga telah mengungsi dari El-Fasher, sementara puluhan ribu lainnya masih terjebak di dalam kota yang sebelumnya dihuni sekitar 260 ribu orang.
Para penyintas yang berhasil mencapai Tawila melaporkan pembunuhan anak-anak di depan orang tua mereka, serta pemukulan dan perampokan terhadap warga sipil yang mencoba melarikan diri.
Hayat, seorang ibu lima anak, mengatakan bahwa para pemuda yang bepergian bersamanya disetop oleh pasukan paramiliter dan hingga kini tidak diketahui nasib mereka.
Laboratorium Universitas Yale menyatakan bahwa citra satelit dari 27 hingga 31 Oktober menunjukkan tidak ada pergerakan besar, yang mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk mungkin telah tewas, ditangkap, atau bersembunyi.
Peneliti mengidentifikasi sedikitnya 31 kelompok objek yang menyerupai tubuh manusia di berbagai lokasi, termasuk area militer dan lingkungan universitas.
Aktivitas kendaraan RSF juga terdeteksi di lingkungan Daraja Oula, yang ditafsirkan sebagai bagian dari operasi pembunuhan dan penggusuran penduduk secara intensif.
Pada 31 Oktober, perubahan aktivitas menunjukkan bahwa hanya sedikit penduduk yang masih hidup di wilayah tersebut.
Laboratorium Yale sebelumnya juga mencatat bukti pertempuran jarak dekat di sekitar lapangan terbang El-Fasher, yang diduga menjadi lokasi penahanan tawanan oleh RSF.
Dalam konferensi internasional di Bahrain pada 1 November, Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul menyebut situasi di Sudan sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia dan menggambarkannya sebagai kondisi apokaliptik.
Ia menegaskan bahwa RSF harus bertanggung jawab atas tindakan mereka, meskipun kelompok tersebut telah berjanji melindungi warga sipil.
Menteri Luar Negeri Inggris Yvette Cooper menyatakan bahwa pelanggaran yang terjadi sangat mengerikan, termasuk eksekusi massal, kelaparan, dan penggunaan pemerkosaan sebagai senjata perang.
Gambar yang belum diverifikasi di media sosial menunjukkan pejuang RSF berjalan di antara mayat dan warga sipil yang terluka, merayakan kemenangan mereka di El-Fasher.
RSF mengklaim telah menangkap beberapa pejuangnya yang dituduh melakukan pelanggaran selama penyerangan, dan pemimpin mereka Mohamed Hamdan Daglo berjanji akan menindak siapa pun yang bersalah.
Namun, Kepala Kemanusiaan PBB Tom Fletcher mempertanyakan keseriusan RSF dalam menyelidiki kekejaman tersebut.
RSF, yang merupakan keturunan milisi Janjaweed, dan militer Sudan sama-sama menghadapi tuduhan kejahatan perang selama konflik berlangsung.
Amerika Serikat sebelumnya menetapkan RSF sebagai pelaku genosida di Darfur, sementara laporan PBB menyebut kelompok tersebut menerima senjata dan drone dari Uni Emirat Arab, meski Abu Dhabi membantah tuduhan tersebut.
Di sisi lain, militer Sudan mendapat dukungan dari Mesir, Arab Saudi, Iran, dan Turki dalam konflik yang terus berkecamuk.
Pengambilalihan El-Fasher memberi RSF kendali atas seluruh ibu kota negara bagian di Darfur, membagi Sudan secara geografis antara wilayah yang dikuasai RSF dan militer.
PBB memperingatkan bahwa kekerasan mulai menyebar ke wilayah Kordofan, dengan laporan baru tentang kekejaman skala besar oleh RSF.
Perang saudara Sudan dipicu oleh runtuhnya perjanjian pembagian kekuasaan antara komandan militer dan RSF, yang gagal menyatukan pasukan mereka.
Sejak itu, konflik terus berlanjut dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang disebut sebagai yang terbesar di dunia oleh PBB.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

