Repelita Jakarta – Akademisi Ubedilah Badrun kembali mengangkat isu dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh. Ia menyebut bahwa sejak awal proyek tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakefisienan yang patut dicermati lebih lanjut.
Menurut Ubedilah, perencanaan proyek yang semula dijadwalkan rampung pada 2019 justru baru selesai pada 2023. Ia menilai keterlambatan tersebut sebagai bukti bahwa proses pembangunan dilakukan dengan pendekatan yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Jadi menurut saya, di era sangat modern, negara membangun sesuatu yang sangat mercusuar tapi cara-cara yang, maaf, ya sangat tradisional, ujarnya dalam program Rakyat Bersuara yang ditayangkan di YouTube iNews TV, Rabu, 22 Oktober 2025.
Ia menjelaskan bahwa dalam studi korupsi, terdapat sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi potensi penyimpangan. Di antaranya adalah kebijakan yang tidak konsisten, perubahan anggaran yang tidak terencana, serta pembengkakan biaya yang signifikan.
Biasanya, suatu proses kebijakan yang inkonsisten, kemudian anggaran yang berubah-ubah, lalu ada pembengkakan, paparnya.
Dalam analisis politik dan banyak perspektif tentang studi korupsi, itu menunjukkan ada indikator kuat tanda-tanda korupsi di situ, sambungnya.
Ubedilah juga menyatakan dukungannya terhadap desakan publik yang meminta agar proyek tersebut dibongkar dan dievaluasi secara menyeluruh. Ia menilai bahwa tuntutan tersebut sangat rasional mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan.
Jadi saya kira rasional, kalau publik kemudian menilai bahwa sangat wajar itu dibongkar, imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas kekacauan dalam pelaksanaan proyek KCJB. Menurutnya, perubahan skema dari kerja sama bisnis (B2B) menjadi antar pemerintah (G2G) merupakan keputusan yang berada di tangan presiden saat itu.
Menurut saya, pergeseran dari B2B jadi G2G, itu tanggung jawabnya presiden. Waktu itu presidennya namanya Joko Widodo, pungkasnya.
Ia juga menyoroti perubahan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengubah posisi APBN sebagai jaminan proyek. Padahal, menurutnya, kesepakatan awal dengan pihak Tiongkok tidak mencantumkan jaminan dari pemerintah Indonesia.
Menurut saya kita perlu pertanggung jawaban, kita perlu bertanya mengapa ada Perpres yang berubah, apa argumennya, tambahnya.
Padahal pertama pemerintah menyetujui bahwa China, karena Tiongkok ini setuju tidak ada jaminan APBN. Tidak ada jaminan pemerintah, tandasnya.
Tiba-tiba berubah, bagi saya ini tanda tanya besar, sambungnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

