Garuda Indonesia yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional justru terbang dengan beban utang dan reputasi yang tercoreng akibat tata kelola internal yang bermasalah.
Kontrak sewa pesawat yang tidak efisien, penentuan rute berdasarkan kepentingan politik, serta praktik suap dan gratifikasi telah menyeret nama-nama petinggi perusahaan ke ranah hukum.
Meski laporan keuangan menunjukkan kerugian, fasilitas dan bonus bagi manajemen tetap berjalan, mencerminkan ketimpangan antara kinerja dan penghargaan.
PLN sebagai penyedia listrik nasional menghadapi dilema antara menjual listrik murah demi kepentingan rakyat dan membeli bahan bakar mahal dari Pertamina.
Kompensasi dari pemerintah sering kali tidak cair tepat waktu, sementara proyek-proyek internal PLN masih diliputi inefisiensi dan pemborosan.
Pembangkit yang mangkrak, jaringan transmisi yang tidak optimal, serta proyek siluman bernilai triliunan rupiah menjadi sorotan dalam laporan keuangan yang terus merugi.
Ironisnya, tunjangan dan bonus pejabat tetap mengalir, meski manfaat proyek bagi masyarakat tidak jelas.
Pertamina yang menyuplai energi ke seluruh lapisan masyarakat juga tidak lepas dari masalah keuangan dan tata kelola.
Harga minyak dunia yang fluktuatif membuat perusahaan ini terjepit antara harga jual BBM yang dikunci pemerintah dan subsidi yang tidak menutup kerugian.
Biaya operasional yang membengkak, proyek kilang yang molor, serta pengadaan yang rawan permainan rente memperburuk kondisi keuangan perusahaan.
Meski mengalami defisit, manajemen tetap menikmati bonus dan fasilitas, sementara kebocoran keuangan terus terjadi di berbagai lini.
Garuda, PLN, dan Pertamina mewakili tiga elemen penting kehidupan: udara, listrik, dan energi, namun ketiganya terjebak dalam pola korupsi, inefisiensi, dan privilese pejabat.
Rakyat sebagai pelanggan setia tidak diberi akses untuk mengetahui bagaimana uang mereka digunakan, sementara keuntungan hanya dinikmati segelintir orang.
BUMN dijalankan seolah milik penguasa, bukan milik bangsa, dengan laba yang dirayakan oleh pejabat dan kerugian yang dibebankan kepada rakyat.
Model ekonomi yang dijalankan setengah hati ini dibungkus dengan jargon nasionalisme, namun diisi oleh transaksi kekuasaan dan kepentingan pribadi.
Rakyat membayar dengan disiplin, namun dana tersebut terserap dalam sistem yang bocor dan berakhir di meja pejabat yang lebih sibuk menghitung tunjangan daripada kinerja.
Kerugian disosialisasikan kepada publik, sementara keuntungan diprivatisasi oleh elit perusahaan.
BUMN seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi nasional, bukan kendaraan bagi kepentingan sempit yang merugikan publik.
Sudah saatnya masyarakat menuntut transparansi dan akal sehat dalam pengelolaan perusahaan negara yang dibiayai oleh uang rakyat.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

