
Repelita Bandar Lampung - Pemerintahan Kota Bandar Lampung di bawah kepemimpinan Wali Kota Eva Dwiana kembali menjadi sorotan publik setelah mencuatnya kasus bullying yang terjadi di salah satu SMP Negeri dan menyebabkan korban terpaksa putus sekolah.
Kasus tersebut memicu perhatian luas karena dinilai mencerminkan buruknya tata kelola pendidikan di kota tersebut. Sorotan pun mengarah kepada Eva Dwiana yang mempercayakan jabatan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kepada saudari kembarnya, Eka Afriana.
Eka Afriana disebut-sebut bukan sosok yang bebas dari polemik. Sejumlah pihak telah melaporkan dugaan pelanggaran dalam sektor pendidikan ke Polda Lampung, bahkan hingga ke Mabes Polri, Kemendagri, dan Kejaksaan Agung.
Sebagai kepala dinas, Eka dinilai gagal memberikan masukan yang tepat kepada Eva Dwiana, terutama terkait penyelenggaraan SMA swasta Siger yang menggunakan anggaran daerah. Padahal, sebagai pejabat publik, ia seharusnya memahami regulasi pendidikan nasional.
Alih-alih menolak karena bertentangan dengan peraturan daerah, perwali, dan undang-undang, Eka justru mendukung penyelenggaraan sekolah tersebut dengan meminjamkan aset negara kepada yayasan swasta.
Penyelenggaraan SMA Siger yang menggunakan fasilitas SMP Negeri dinilai berpotensi menimbulkan masalah hukum bagi BKAD, ketua yayasan, dan kepala sekolah yang terlibat dalam skema pinjam pakai aset negara.
Skandal terbaru yang mencuat adalah kasus bullying di SMP Negeri Kemiling yang menyebabkan korban kehilangan hak pendidikan. Publik pun menyoroti peran ganda Eva Dwiana dan Eka Afriana dalam struktur pemerintahan.
Eva Dwiana diketahui merangkapkan jabatan Eka sebagai Asisten Pemerintahan sekaligus Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung. Kombinasi jabatan tersebut dinilai memperkuat indikasi konflik kepentingan.
Muncul pula kabar bahwa hingga kini Pemkot Bandar Lampung belum menetapkan kepala sekolah definitif di sejumlah SMP Negeri. Beberapa pejabat bahkan merangkap jabatan, termasuk Eka Afriana yang tercatat sebagai Kepala SMP Negeri 44 dan SMP Negeri 32 Bandar Lampung.
Buruknya manajemen pendidikan ini diyakini menjadi salah satu pemicu munculnya berbagai polemik dan skandal di sektor pendidikan Kota Tapis Berseri.
Para guru di Bandar Lampung mempertanyakan kapan mereka akan memiliki kepala sekolah definitif. Sementara itu, para pemangku kepentingan SMA/SMK swasta mengeluhkan ketidakadilan atas penyelenggaraan SMA Siger yang dinilai ilegal namun menggunakan APBD.
Praktisi hukum juga terus melontarkan kritik terhadap penanganan kasus bullying di SMP Negeri yang dinilai mencederai prinsip perlindungan anak dan hak atas pendidikan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

