
Repelita Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menyampaikan rencana besar pemerintah untuk meluncurkan mobil nasional dalam waktu tiga tahun ke depan, sebagai simbol kemandirian industri otomotif dan kebangkitan ekonomi nasional.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam sidang kabinet pada tahun pertama masa pemerintahannya, yang menandai dimulainya persiapan proyek mobil nasional buatan anak bangsa.
Prabowo menegaskan bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana, menyiapkan lahan untuk pabrik, dan membentuk tim khusus guna mempercepat realisasi proyek tersebut.
Ia menyebut bahwa Indonesia telah berhasil memproduksi kendaraan jenis jeep sebagai langkah awal menuju kemandirian otomotif.
Langkah ini mendapat dukungan penuh dari Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, yang mengusulkan agar proyek mobil nasional masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional.
Dengan status tersebut, proyek ini akan memperoleh prioritas dalam hal perizinan, insentif, dan dukungan infrastruktur dari pemerintah.
Jika berhasil direalisasikan, Indonesia berpotensi mencatat sejarah baru dalam industri otomotif global.
Namun, di tengah semangat besar tersebut, publik tak bisa melupakan pengalaman masa lalu yang berkaitan dengan proyek mobil Esemka.
Mobil Esemka yang sempat diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2019, awalnya digadang sebagai tonggak kemandirian otomotif nasional.
Mobil Esemka Bima sempat diproduksi dan digunakan sebagai kendaraan komersial ringan, namun gaungnya perlahan memudar.
Penjualan yang stagnan, kesulitan mendapatkan suku cadang, dan keraguan terhadap keaslian produksi dalam negeri membuat proyek tersebut kehilangan daya tariknya.
Kisah Esemka menjadi pelajaran penting bagi pemerintah saat ini agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Kegagalan Esemka bukan disebabkan oleh buruknya ide mobil nasional, melainkan karena tidak adanya kesinambungan ekosistem industri dan komitmen jangka panjang.
Tidak tersedia jaringan distribusi yang kuat, minimnya investasi riset berkelanjutan, serta kurangnya dukungan industri lokal menjadi faktor utama yang melemahkan proyek tersebut.
Akibatnya, proyek yang semula dipuji sebagai kebanggaan bangsa berubah menjadi simbol wacana yang tidak tuntas.
Kini, masyarakat menaruh harapan sekaligus kekhawatiran terhadap proyek mobil nasional yang digagas oleh Prabowo.
Di kalangan pengamat ekonomi, muncul pertanyaan mengenai pola kemunculan ide mobil nasional yang kerap muncul menjelang momentum politik besar atau pergantian kekuasaan.
Dari proyek Timor di era Soeharto, Esemka di masa Jokowi, hingga proyek baru di era Prabowo, semuanya memiliki pola serupa.
Janji besar, peluncuran spektakuler, dukungan penuh pemerintah, namun kemudian menghilang tanpa jejak yang jelas.
Pertanyaan pun muncul, apakah ini sekadar kebetulan atau ada pola kebijakan yang sengaja diulang demi kepentingan tertentu.
Jika Indonesia benar-benar ingin memiliki mobil nasional yang nyata, maka pemerintah harus belajar dari pengalaman sebelumnya.
Harus ada kejelasan arah industri, kemandirian teknologi, serta transparansi dalam proses produksi dan kemitraan.
Mobil nasional tidak boleh hanya menjadi label kebanggaan di spanduk pabrik, melainkan harus menjadi simbol kemampuan bangsa membangun industri dari nol hingga mampu bersaing di pasar global.
Harapan masyarakat kini kembali menyala, namun bersamaan dengan itu, rasa waswas pun ikut hadir.
Pemerintah dituntut untuk menunjukkan keberanian politik yang dibarengi dengan komitmen nyata agar proyek mobil nasional tidak kembali menjadi mimpi lama yang dibungkus ulang dengan nama baru.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

