
Repelita Jakarta - Peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, turut menanggapi kontroversi yang kembali mencuat menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November, terkait wacana penetapan Presiden RI ke-2, Soeharto, sebagai pahlawan nasional.
Melalui unggahan di Facebook pribadinya pada Jumat, 31 Oktober 2025, Made menyebut bahwa isu tersebut selalu muncul setiap menjelang bulan November, seiring dengan peringatan Hari Pahlawan.
Ia melontarkan kritik tajam terhadap mekanisme negara dalam menetapkan gelar pahlawan, yang menurutnya menyerupai proses kanonisasi dalam agama.
“Saya tidak tahu apa guna menobatkan orang menjadi pahlawan. Negara ini sudah kayak agama saja,” tulis Made.
Ia membandingkan dengan Gereja Katolik yang memberikan gelar santa atau santo melalui proses penyelidikan ketat, termasuk pembuktian mukjizat.
Menurutnya, negara tampak ingin meniru proses tersebut, namun dengan pendekatan yang sepenuhnya politis dan bergantung pada siapa yang berkuasa.
“Hanya saja ada beda yang besar. Kalau pahlawan, itu tergantung dari politik negara tersebut. Siapa yang menang, dia yang berhak menentukan siapa yang jadi pahlawan,” tegasnya.
Made menyebut bahwa dalam pemerintahan yang ia sebut sebagai neo-Orba, penetapan pahlawan nasional cenderung berpihak pada rezim Orde Baru.
Ia menyatakan bahwa dalam sistem demokrasi yang menghasilkan pemimpin buruk, rakyat tidak memiliki banyak pilihan untuk menolak.
“Jika sistem ini membuat seorang penjahat menjadi presiden, ya apa boleh buat kan? Seperti Hasan Nasbi yang tidak segan menjilat, asal yang dijilat itu menang!” tulisnya.
Meski demikian, ia mengakui bahwa penguasa tetap harus memberikan alasan atas penetapan seseorang sebagai pahlawan, meskipun dalam sistem yang kacau.
Made menilai bahwa pendukung penobatan Soeharto sebagai pahlawan memiliki argumen tersendiri, seperti stabilitas selama 32 tahun dan pembangunan nasional.
Namun, ia juga menyoroti bahwa pencapaian tersebut tidak memperhatikan siapa yang diuntungkan, serta berapa banyak korban yang harus dikorbankan.
Ia menyatakan bahwa dirinya tidak terlalu peduli apakah Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional atau tidak, dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak yang berwenang.
“Tapi jika kriterianya adalah bahwa Suharto telah mengubah sejarah Indonesia? Saya kira saya bisa menerima,” ujarnya.
Made menyebut bahwa jasa terbesar Soeharto adalah mengubah arah Indonesia dari semangat revolusi anti-kolonial menjadi sistem kasta berbasis kekuasaan.
Ia mengutip pandangan para akademisi seperti James Siegel yang menyebut Soeharto sebagai tokoh anti-revolusi yang mengembalikan pola kekuasaan kolonial.
Menurutnya, sistem kekuasaan Orde Baru membentuk kasta baru dengan militer, birokrasi, dan Golkar sebagai lapisan tertinggi, sementara masyarakat di luar sistem hanya bisa bertahan hidup dengan cara merangkak.
Ia menjelaskan bahwa pada masa itu, partisipasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial sangat bergantung pada posisi seseorang dalam sistem kekuasaan tersebut.
Made menilai bahwa sistem tersebut masih bertahan hingga kini, meski dalam bentuk yang lebih tersembunyi dan kompleks.
Ia menyebut bahwa selain mengandalkan negara, para pelaku sistem juga membentuk jaringan ekonomi alternatif melalui makelar, begal, dan perampok yang beroperasi atas nama aparat negara.
Di akhir pernyataannya, Made menyatakan bahwa jika penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional didasarkan pada kemampuannya mengubah arah sosial Indonesia, maka ia tidak keberatan.
“Saya sangat, sangat setuju. Oleh karena itu, bagi para neo-Orbawan/wati dan para gedibalnya yang budiman, kalau Anda mau menjadikan Suharto sebagai pahlawan nasional atas dasar ini, silahkan. Silahkan. Ambil saja semuanya,” tutupnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

