Apa yang awalnya hanya berupa dokumentasi kunjungan kerja, kini berubah menjadi isu nasional yang menyeret nama besar produsen air mineral tersebut ke tengah sorotan publik.
Pegiat media sosial Ary Prasetyo menilai bahwa dampak dari video tersebut bisa sangat merugikan.
Gara-gara siapa?? Gara-gara Bapa k Aing yang suka ngonten!
Ary menyebut bahwa konten yang dibuat Dedi berpotensi menimbulkan keresahan dan mengancam keberlangsungan industri air minum dalam kemasan.
Bayangkan kalau beneran terjadi, berapa ribu karyawan yang jadi korban?
Sejumlah warganet lainnya juga melontarkan kritik keras terhadap Dedi Mulyadi di kolom komentar.
Mereka menilai bahwa konten yang menyoroti dugaan penggunaan air tanah dalam sebagai bahan baku Aqua bisa menyesatkan persepsi publik.
Akun @IgnBestari menulis dengan nada kesal.
90 persen AMDK sumbernya dari air tanah 100 meter. Aing-aing pansos yang berlebihan mematikan mata pencaharian jutaan pekerja. Pondok pesantren yang punya pabrik AMDK juga dari sumur bor 100 meter.
Komentar lain datang dari akun @Ozfreaks yang mempertanyakan kebijakan Dedi dalam membuat konten.
Itu orang sebelum ngonten otaknya dipakai gak sih? Imbasnya bakal luar biasa. Jatuh pasti citra perusahaan.
Sindiran juga dilontarkan akun @anaknyasiape dengan nada satir.
Ada tiga kemungkinan: setorannya ogah nambah, dibayar sama pesaing, atau mau ngeluarin produk sendiri.
Akun @SopanEdan turut mencurigai adanya motif bisnis di balik viralnya isu ini.
Adakah kemungkinan bermuatan persaingan bisnis?
Sementara itu, akun parodi @Duren___ mencoba memberikan klarifikasi berdasarkan informasi yang sudah tersedia.
Laman pemberitaan dari Aqua sendiri udah ada sejak tahun lalu. Airnya memang dari sumur bor, gak ada kebohongan. Kita aja yang baru tahu.
Di tengah ramainya perdebatan, Indonesia Halal Watch (IHW) turut memberikan tanggapan.
Lembaga ini menyoroti dugaan perubahan bahan baku yang disebut-sebut tidak sesuai dengan klaim awal produsen.
Founder IHW, Ikhsan Abdullah, menyatakan bahwa jika benar terjadi perubahan bahan baku tanpa penyesuaian izin edar atau sertifikasi halal, maka hal itu bisa menimbulkan konsekuensi hukum serius.
Menurutnya, sanksi yang dapat dikenakan mencakup pencabutan izin edar oleh BPOM, pembatalan sertifikasi halal oleh BPJPH, hingga penarikan iklan dari ruang publik.
Ikhsan menegaskan bahwa kepatuhan terhadap regulasi izin edar dan sertifikasi halal adalah prinsip dasar yang tidak bisa ditawar, karena menyangkut kepercayaan konsumen terhadap transparansi produsen. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

