Repelita Jakarta – Desakan publik agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serius menyelidiki dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh semakin menguat.
Salah satu suara yang turut mendorong KPK untuk tidak main-main dalam penanganan kasus tersebut datang dari Pengamat Kebijakan Publik, Gigin Praginanto.
Melalui unggahan di akun X @giginpraginanto pada Kamis, 30 Oktober 2025, Gigin menyampaikan harapannya agar KPK tidak sekadar mengumbar janji.
“Semoga gak cuma omong besar KPK,” tulis Gigin.
Ia menilai bahwa dengan banyaknya informasi yang beredar mengenai proyek tersebut, seharusnya KPK tidak kesulitan menetapkan pihak-pihak yang bertanggung jawab.
“Kerugian negara sudah sangat jelas, demikian pula dengan para aktor intelektualnya,” tandasnya.
Sebelumnya, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, memberikan tanggapan terhadap pernyataan mantan Presiden Joko Widodo yang menyebut proyek Kereta Cepat sebagai investasi sosial.
Anthony menilai bahwa pernyataan tersebut merupakan bentuk kepanikan Jokowi setelah berbagai persoalan dalam proyek itu mencuat ke publik.
“Jokowi panik, mencoba cuci tangan dari skandal Kereta Cepat Jakarta Bandung yang merugikan keuangan negara secara pasti dan nyata, dalam jumlah raksasa, mencapai paling sedikit Rp73,5 triliun,” ujar Anthony pada 27 Oktober 2025.
Ia menyebut bahwa dalih investasi sosial yang disampaikan Jokowi adalah upaya untuk menghindari tanggung jawab atas kerugian negara.
“Dalih ini jelas untuk menghindar dari tanggung jawab atas kerugian keuangan negara yang super besar,” sebutnya.
Anthony bahkan menyebut bahwa alasan tersebut memperlihatkan karakter asli mantan kepala negara yang menurutnya sering memberikan pernyataan tidak sesuai kenyataan.
“Alasan yang diberikan Jokowi ini semakin memperlihatkan karakter aslinya, pembohong, seperti yang sudah berkali-kali dilakukannya,” kata Anthony.
“Misalnya kasus Esemka, atau IKN yang katanya sudah banyak investor antre, dan ternyata semuanya bohong besar,” tambahnya.
Lebih lanjut, Anthony menilai bahwa jika proyek kereta cepat memang murni investasi sosial, maka seharusnya ditangani oleh negara melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kalau Proyek KCJB tidak bermotif laba tetapi investasi sosial, maka sejak awal proyek ini seharusnya ditanggung atau dijamin APBN, dan harus melalui persetujuan DPR,” jelasnya.
Ia juga menyoroti keputusan pemerintah yang memilih China sebagai mitra proyek, meskipun penawaran Jepang dinilai lebih murah dan memiliki bunga pinjaman yang lebih rendah.
“Jepang gagal, atau digagalkan, ditunjuk sebagai pemenang proyek kereta cepat justru karena Jokowi secara eksplisit menyatakan proyek ini tidak dijamin APBN, tetapi mengikuti skema business-to-business yang jelas-jelas bermotif laba,” imbuhnya.
Anthony menegaskan bahwa persoalan utama dalam proyek KCJB bukan lagi soal untung atau rugi, melainkan dugaan korupsi besar-besaran yang harus diusut secara menyeluruh.
“Proyek KCJB terindikasi kuat ada markup dan penyimpangan dalam proses penunjukan pemenang yang merugikan keuangan negara paling sedikit Rp73,5 triliun,” kata dia.
Ia menyimpulkan bahwa pernyataan Jokowi justru memperkuat dugaan adanya pemufakatan jahat di balik tender proyek tersebut.
“Alasan yang dikemukakan Jokowi tidak relevan sama sekali, tetapi hanya bentuk pembelaan diri yang sudah terpojok,” tegas Anthony.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

