
Repelita Jakarta - Mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno menilai sistem meritokrasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengalami kerusakan selama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sebelum era Jokowi, proses pergantian kepemimpinan di Polri berlangsung secara alami dan objektif.
Menurut Oegroseno, pemilihan calon Kapolri kala itu didasarkan pada prestasi serta senioritas, bukan kedekatan dengan kekuasaan.
“Di antara perwira tinggi senior yang berprestasi dan dikenal publik, presiden biasanya memilih calon Kapolri yang masih memiliki waktu dua sampai tiga tahun sebelum pensiun,” ujar Oegroseno dalam keterangannya, Selasa, 28 Oktober 2025.
Ia menjelaskan, sistem meritokrasi tersebut penting untuk menjaga keseimbangan psikologis organisasi di internal Polri.
Namun sejak era pemerintahan Jokowi, mekanisme itu dianggap mulai diabaikan.
Di awal masa jabatannya, Jokowi secara tiba-tiba mengganti Kapolri saat itu, Jenderal (Purn) Sutarman, meskipun masih aktif dan belum mencapai masa pensiun.
“Pak Sutarman belum pensiun, tapi buru-buru diadakan pergantian. Ini menyalahi pakem dan norma yang berlaku. Tidak mungkin ada dua jenderal bintang empat aktif dalam waktu bersamaan,” ungkap Oegroseno.
Ia menilai, tindakan tersebut menabrak aturan tidak tertulis yang selama ini dijaga di Polri.
Setelah memberhentikan Sutarman, Jokowi menunjuk Badrodin Haiti sebagai pengganti.
Oegroseno tidak menampik bahwa Badrodin termasuk perwira senior, namun masa aktifnya hanya tersisa sekitar satu tahun sebelum pensiun.
“Setahun menjabat, diganti lagi. Langsung loncat ke Pak Tito. Padahal, seharusnya pengganti dicari dari angkatan 1984 atau 1985, bukan 1987 seperti Pak Tito,” kata Oegroseno.
Ia menegaskan, kebijakan seperti itu menciptakan dampak psikologis di internal organisasi Polri.
“Hal seperti ini membuat suasana tidak sehat karena yang menjadi pemimpin terlalu muda, sementara banyak senior harus dipimpin juniornya. Ini yang berpotensi mengganggu soliditas institusi,” tutup Oegroseno.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

