Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Isu Kereta Cepat Makin Panas, Chusnul Chotimah Dorong Kejaksaan dan KPK Proses Hukum Jokowi


Repelita Jakarta- Isu dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) kembali memanas setelah pegiat media sosial Chusnul Chotimah turut bersuara dan mendorong aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran dalam proyek tersebut.

Melalui unggahan di akun X pribadinya @ch_chotimah2 pada Selasa, 22 Oktober 2025, Chusnul menegaskan adanya indikasi kuat korupsi dan pemufakatan jahat dalam proyek kereta cepat Whoosh yang melibatkan sejumlah pihak.

“Pakar ekonomi dan mantan penyidik KPK, ada pemufakatan jahat di kereta cepat Whoosh. Ada indikasi korupsi,” tulis Chusnul dalam unggahan tersebut.

Ia bahkan secara terbuka menandai akun resmi Kejaksaan RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menjadikan persoalan itu sebagai perhatian serius untuk diusut hingga tuntas.

“Adili Jokowi,” timpal Chusnul dalam cuitannya yang memicu berbagai tanggapan publik di media sosial.

Unggahan Chusnul itu muncul setelah pernyataan tegas dari ekonom senior sekaligus Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, yang menuding proyek KCJB sejak awal sudah bermasalah dan sarat dengan dugaan praktik korupsi.

Anthony menjelaskan bahwa pernyataannya merupakan bentuk pengaduan masyarakat terbuka kepada KPK sekaligus respons atas imbauan lembaga tersebut agar Prof. Mahfud MD melaporkan dugaan korupsi proyek KCJB secara resmi.

Menurut Anthony, lembaga antirasuah seharusnya tidak perlu lagi menunggu laporan formal karena indikasi penyimpangan dalam proyek strategis nasional itu sudah tampak jelas.

“Sungguh aneh kalau KPK masih mempertanyakan hal ini, bahkan menghimbau masyarakat melaporkan dugaan korupsi yang sudah terbentang jelas di depan mata. Hal ini mencerminkan komisioner KPK saat ini tidak kompeten,” ujar Anthony dalam pernyataannya pada Selasa, 21 Oktober 2025.

Anthony kemudian mengurai berbagai hal yang menurutnya menunjukkan adanya praktik manipulasi dan penggelembungan anggaran dalam proyek KCJB.

Ia menyoroti kenaikan nilai proyek dari penawaran awal 5,5 miliar dolar AS menjadi 6,02 miliar dolar AS, atau sekitar 41,96 juta dolar AS per kilometer, yang jauh di atas rata-rata biaya proyek serupa di China yang hanya berkisar 17 hingga 30 juta dolar AS per kilometer.

Sebagai perbandingan, proyek Kereta Cepat Shanghai–Hangzhou yang memiliki panjang lintasan 154 kilometer hanya menelan biaya 22,93 juta dolar AS per kilometer.

“Artinya, biaya Proyek KCJB lebih mahal sekitar 19 juta dolar AS per kilometer dibandingkan proyek Shanghai–Hangzhou tersebut, atau kemahalan sekitar 2,7 miliar dolar AS,” tegas Anthony.

Ia menduga perbedaan biaya yang mencolok itu disebabkan oleh adanya praktik markup yang dilakukan secara sistematis dalam proses pengadaan.

Lebih lanjut, Anthony menilai proses evaluasi proyek tidak dilakukan secara objektif dan justru memperlihatkan keberpihakan kepada pihak tertentu.

“Keikutsertaan Jepang nampaknya hanya untuk pendamping saja, untuk memenuhi prasyarat proses tender. Keikutsertaan Jepang dimanfaatkan hanya untuk mengatrol harga Kereta Cepat China agar bisa mendekati penawaran dari Jepang,” jelasnya.

Ia menambahkan, pemerintah akhirnya memilih penawaran China dengan alasan tidak membutuhkan jaminan APBN karena menggunakan skema business-to-business, padahal belakangan terbukti proyek tersebut tetap menerima suntikan dana APBN.

“Yang sekarang ternyata terbukti bohong besar, utang proyek China sekarang minta disuntik dana APBN,” kata Anthony.

Selain itu, Anthony juga menyoroti perbedaan bunga pinjaman antara Jepang dan China yang menunjukkan ketimpangan mencolok.

“Baik Jepang maupun China menawarkan pembiayaan 75 persen dari nilai proyek dengan tenor 50 tahun dan masa tenggang 10 tahun. Jepang menawarkan bunga 0,1 persen per tahun, sedangkan China 2 persen per tahun, atau 20 kali lipat lebih tinggi,” ungkapnya.

Dengan bunga pinjaman sebesar itu, kata Anthony, beban finansial Indonesia menjadi jauh lebih berat dibandingkan jika proyek tersebut dikerjakan dengan skema Jepang.

“Dalam sepuluh tahun masa tenggang, bunga pinjaman Proyek Jepang hanya 45 juta dolar AS, sedangkan Proyek China mencapai 900 juta dolar AS,” rincinya.

Menurutnya, jika komponen bunga dimasukkan ke dalam perhitungan evaluasi, penawaran China justru menjadi lebih mahal daripada Jepang, yaitu 6,92 miliar dolar AS dibandingkan 6,25 miliar dolar AS.

Anthony menilai pengabaian komponen bunga dalam evaluasi proyek publik termasuk pelanggaran serius dan berpotensi menjadi tindak pidana.

“Tidak heran, dengan tingkat bunga pinjaman China yang begitu besar, Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) saat ini megap-megap tidak mampu membayar bunga pinjaman tersebut dan masuk kategori default, gagal bayar bunga,” tutupnya.

Dorongan Chusnul Chotimah kepada Kejaksaan RI dan KPK untuk mengusut tuntas dugaan korupsi proyek KCJB pun semakin memperkuat tekanan publik terhadap aparat penegak hukum agar bertindak tegas tanpa pandang bulu. (*)

Editor: 91224 R-ID Elok.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved