Repelita Jakarta – Pegiat media sosial, Herwin Sudikta, menyampaikan kritik terhadap pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang menyebut bahwa kebijakan bahan bakar jenis E10 baru akan realistis diterapkan pada tahun 2027.
Menurut Herwin, pernyataan tersebut mencerminkan bahwa arah kebijakan energi nasional masih belum jelas dan berpotensi hanya menjadi wacana tanpa implementasi nyata.
Ia menilai bahwa para menteri yang mendampingi Presiden Prabowo Subianto belum mampu menerjemahkan visi besar presiden dalam sektor energi secara konkret.
Sekalipun Prabowo punya niat mulia. Tapi kalau masih dikelilingi para menteri yang tukang akal-akalan dan fufufafa, ya jangan heran kalau kebijakannya tetap mentah sebelum matang, ujar Herwin dalam pernyataannya pada 22 Oktober 2025.
Sebelumnya, Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan penerapan mandatori campuran etanol 10 persen (E10) dalam bahan bakar minyak paling lambat pada tahun 2027.
Kebijakan tersebut merupakan bagian dari strategi nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bensin yang selama ini cukup tinggi.
Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah sedang menyusun desain kebijakan serta membangun infrastruktur pendukung agar program E10 dapat segera dijalankan.
Ia mengungkapkan bahwa Indonesia masih mengimpor sekitar 27 juta ton bensin setiap tahun, sehingga penerapan E10 diharapkan dapat menekan angka tersebut secara signifikan.
Lebih lanjut, Bahlil menegaskan bahwa kebijakan E10 tidak hanya bertujuan mengurangi impor, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Di sisi lain, Politikus PDI Perjuangan, Ferdinand Hutahaean, menyatakan bahwa kebijakan pencampuran etanol ke dalam BBM bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.
Ia menyebut bahwa praktik tersebut sudah lazim diterapkan di berbagai negara dan tidak menimbulkan persoalan teknis.
Ferdinand menjelaskan bahwa pencampuran etanol dalam bensin merupakan hal umum dalam industri energi global dan Indonesia bahkan telah lebih dulu menerapkan campuran Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dalam solar.
Campuran etanol terhadap BBM itu adalah hal yang biasa di seluruh dunia. Tidak bermasalah. Bahkan kita itu sudah melakukan campuran FAME terhadap solar, ujar Ferdinand pada 9 Oktober 2025.
Ia menambahkan bahwa Indonesia telah mencapai 40 persen campuran FAME dalam solar dan prinsipnya serupa dengan etanol yang digunakan untuk bensin.
FAME itu campuran untuk solar, etanol itu campuran untuk bensin. Jadi tidak ada bedanya, tegasnya.
Ferdinand menilai bahwa kebijakan Bahlil tidak menimbulkan risiko terhadap kendaraan bermotor dan sudah sesuai dengan perkembangan teknologi otomotif.
Jadi yang disampaikan Bahlil itu sebetulnya tidak ada masalah. Aman-aman saja kok, kata Ferdinand.
Apalagi mobil produk-produk terbaru sekarang itu sudah kompatibel dengan BBM campuran etanol sampai dengan 10 persen, tambahnya.
Ia juga menegaskan bahwa kebijakan pencampuran BBM dengan etanol telah lama diterapkan di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Brazil.
Di seluruh dunia juga ini sudah berlangsung kok. Di Amerika, di Eropa, Brazil bahkan sampai 30 persen tidak ada masalah, ucapnya.
Ferdinand menyebut bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya global untuk mengurangi pemanasan bumi melalui penggunaan energi terbarukan.
Dan ini adalah bagian dari upaya dunia untuk mengurangi pemanasan global dengan menggunakan bioenergi. Energi terbarukan kategorinya, imbuhnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

