
Repelita Jakarta - Dugaan praktik mark-up dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh kembali menjadi sorotan publik dan memicu desakan agar aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan menyeluruh.
Lembaga kajian Centre for Indonesia Strategic Actions mendorong agar proses hukum terhadap proyek strategis nasional tersebut segera dimulai, dengan tetap menjunjung asas praduga tak bersalah. Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif CISA, Herry Mendrofa, saat dihubungi di Jakarta pada Sabtu, 25 Oktober 2025.
Menurut Herry, akar persoalan harus ditelusuri dari struktur kelembagaan yang merancang dan menyetujui proyek tersebut. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab utama berada pada konsorsium BUMN yang tergabung dalam PT KCIC, serta kementerian teknis seperti Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN.
Ia juga menyebut lembaga perencana seperti Bappenas memiliki peran penting dalam menetapkan skema pembiayaan, target waktu, dan standar efisiensi proyek. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek harus dimintai pertanggungjawaban.
Sementara itu, Managing Editor Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan, menyampaikan keheranannya terhadap sikap Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai masih menunggu laporan resmi untuk memproses dugaan korupsi dalam proyek tersebut. Pernyataan ini disampaikan Anthony di Jakarta pada Selasa, 21 Oktober 2025.
Anthony menyebut bahwa indikasi mark-up dalam proyek sepanjang 142,3 kilometer itu sangat jelas dan tidak seharusnya diabaikan. Ia memperkirakan bahwa nilai mark-up berkisar antara 20 hingga 60 persen dari total anggaran proyek.
Ia bahkan menyatakan bahwa jika KPK masih menunggu laporan resmi, maka kompetensi para komisioner patut dipertanyakan. Menurutnya, bukti-bukti dugaan korupsi sudah terbentang di depan mata dan tidak perlu menunggu laporan tambahan.
Anthony juga mengungkap bahwa indikasi awal mark-up muncul sejak keputusan Presiden Joko Widodo menggugurkan proposal Jepang dan memilih China sebagai kontraktor utama. Ia menilai bahwa proposal Jepang hanya dijadikan pelengkap untuk memenuhi syarat tender, sementara China dimanfaatkan untuk menaikkan harga proyek.
Pada tahap awal, China menawarkan nilai proyek sebesar 5,5 miliar dolar AS, sementara Jepang mengajukan 6,2 miliar dolar AS. Jepang digugurkan karena meminta jaminan APBN, sedangkan China menjanjikan skema business-to-business tanpa beban APBN.
Namun, janji tersebut hanya bertahan lima tahun. Pada 2021, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang membuka akses pendanaan APBN melalui Penyertaan Modal Negara dan penjaminan proyek KCJB.
Anthony menyimpulkan bahwa seluruh janji awal proyek Whoosh kini terbukti tidak sesuai dengan kenyataan. Ia menyebut bahwa publik telah dibohongi dengan narasi yang tidak sejalan dengan pelaksanaan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

