Repelita Jakarta - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, kembali menyoroti proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang menurutnya telah menimbulkan kerugian besar bagi keuangan negara.
Anthony menyatakan bahwa proyek KCJB tidak hanya bermasalah secara teknis dan finansial, tetapi juga terindikasi kuat melanggar berbagai peraturan dan berpotensi mengandung unsur tindak pidana korupsi.
Proyek KCJB bermasalah besar, diduga melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, dan terindikasi kuat ada tindak pidana korupsi, ujar Anthony kepada fajar.co.id, Senin, 27 Oktober 2025.
Ia menjelaskan bahwa sejak awal proyek ini telah direkayasa agar penawaran dari pihak China keluar sebagai pemenang, meskipun nilai dan bunga pinjamannya jauh lebih mahal dibandingkan penawaran dari Jepang.
Anthony memaparkan bahwa Jepang dan China sama-sama mengajukan skema pembiayaan sebesar 75 persen dari total nilai proyek, dengan masa tenggang selama 10 tahun dan jangka waktu pelunasan pokok selama 40 tahun.
Namun, perbedaan mencolok terlihat pada suku bunga dan total biaya proyek yang ditawarkan masing-masing negara.
Jepang menawarkan biaya proyek sebesar 6,2 miliar dolar AS dengan bunga pinjaman hanya 0,1 persen per tahun.
Sementara China mengajukan biaya awal sebesar 5,5 miliar dolar AS yang kemudian naik menjadi 6,07 miliar dolar AS, dengan bunga pinjaman 2 persen per tahun.
Bahkan meningkat menjadi 3,4 persen untuk pembengkakan biaya (cost overrun), sebut Anthony.
Ia menambahkan bahwa pembengkakan biaya proyek yang disepakati mencapai 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp19,5 triliun.
Sebanyak 75 persen dari pembengkakan tersebut juga dibiayai melalui pinjaman berbunga tinggi, yakni 3,4 persen per tahun, atau 34 kali lipat lebih besar dari bunga pinjaman Jepang.
Selama masa tenggang 10 tahun, KCJB hanya membayar bunga pinjaman tanpa mencicil pokok, sehingga total bunga yang dibayarkan sangat besar, jelas Anthony.
Jika dihitung secara keseluruhan selama masa konsesi 50 tahun, biaya proyek versi Jepang hanya mencapai 6,34 miliar dolar AS, sedangkan versi China melonjak hingga 10,85 miliar dolar AS.
Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa proyek versi China lebih mahal 4,51 miliar dolar AS atau sekitar 71,2 persen lebih tinggi.
Dengan asumsi kurs Rp16.300 per dolar AS, Anthony memperkirakan kerugian keuangan negara mencapai Rp73,5 triliun, belum termasuk dugaan markup atau penggelembungan harga yang diperkirakan mencapai 2 miliar dolar AS.
Anthony menegaskan bahwa dengan kerugian sebesar itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak boleh tinggal diam.
Dengan sengaja memenangkan pihak China yang jelas-jelas lebih mahal merupakan tindakan merugikan keuangan negara secara nyata dan pasti, tegasnya.
Rakyat menuntut KPK segera menyelidiki dan menyidik dugaan kasus korupsi jumbo ini, sebelum rakyat marah, tambah Anthony.
Ia juga meminta agar KPK membuka seluruh proses tender secara transparan, termasuk waktu dan mekanisme pelibatan konsorsium BUMN Indonesia (PSBI).
Selain itu, rincian komponen biaya dalam penawaran awal China sebesar 5,5 miliar dolar AS juga harus diungkap ke publik.
Anthony mendorong agar alasan pembengkakan biaya proyek China menjadi 6,07 miliar dolar AS dan kemudian naik lagi sebesar 1,2 miliar dolar AS hingga mencapai 7,27 miliar dolar AS dijelaskan secara terbuka.
Serta bagaimana perlakuan bunga pinjaman diperhitungkan dalam evaluasi kelayakan proyek. Semoga KPK segera bertindak. Jangan memancing amarah rakyat, tutupnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

