Repelita Jakarta – Pernyataan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, yang menyebut proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) sebagai bentuk investasi sosial, memicu respons beragam dari berbagai kalangan. Salah satu tanggapan datang dari ekonom Dipo Satria Ramli yang menyampaikan kritik tajam terhadap pernyataan tersebut.
Dalam unggahan di akun X @DipoSatriaR pada Selasa, 28 Oktober 2025, Dipo menyebut bahwa klaim investasi sosial hanyalah bentuk pembenaran atas proyek yang dinilai merugikan keuangan negara dan membebani rakyat. Ia menilai bahwa proyek yang tidak menghasilkan keuntungan justru dikemas sebagai kebijakan sosial.
Akal-akalan kelas berat! Proyek rugi dibilang investasi sosial, tulis Dipo.
Ia menyatakan bahwa justifikasi pemerintah yang menyebut proyek kereta cepat bukan untuk mencari keuntungan, melainkan demi manfaat sosial, merupakan bentuk pengelabuan terhadap publik. Menurutnya, manfaat proyek tersebut lebih banyak dinikmati oleh pejabat dan kelompok tertentu, sementara beban bunga utang ditanggung oleh masyarakat.
Lah, yang nikmatin pejabat dan kroni, yang bayar bunganya rakyat, cetusnya.
Dipo juga menyoroti bahwa konsep investasi sosial yang disampaikan Presiden Jokowi hanya menjadi tameng untuk menutupi kerugian besar dari proyek bernilai ratusan triliun rupiah. Ia menyindir bahwa kerugian pun bisa dibungkus sebagai kebajikan.
Hebat, rugi pun bisa dibungkus jadi kebajikan, tandasnya.
Lebih lanjut, Dipo yang merupakan putra dari ekonom senior Rizal Ramli, menyampaikan bahwa jika logika seperti ini terus digunakan, maka perilaku korupsi pun bisa dibenarkan dengan alasan serupa. Ia menutup pernyataannya dengan sindiran keras.
Kalau gitu, korupsi sekalian aja disebut amal kebangsaan, tutupnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa keuntungan dari proyek Whoosh tidak hanya bersifat materi, melainkan juga berdampak sosial. Ia menyebut bahwa kehadiran kereta cepat akan meningkatkan produktivitas masyarakat karena mengurangi waktu tempuh dan kemacetan.
Selain itu, Jokowi menyatakan bahwa proyek tersebut akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan, seperti pengurangan emisi karbon dan polusi dari kendaraan pribadi. Ia menjelaskan bahwa subsidi yang diberikan pemerintah untuk proyek transportasi massal merupakan bentuk investasi, bukan kerugian.
Social return on investment. Apa itu? Bukannya pengurangan emisi karbon, produktivitas dari masyarakat menjadi lebih baik, kemudian apalagi polusi yang berkurang, jelas Jokowi dalam unggahan di Threads pada Selasa, 28 Oktober 2025.
Waktu tempuh yang bisa lebih cepat, disitulah keuntungan sosial yang didapatkan dari pembangunan transportasi massal, sambungnya.
Jokowi menolak anggapan bahwa subsidi terhadap proyek tersebut merupakan kerugian. Ia mencontohkan subsidi terhadap MRT Jakarta yang mencapai Rp800 miliar per tahun, dan memperkirakan bahwa jika seluruh rute selesai, angkanya bisa mencapai Rp4,5 triliun berdasarkan perhitungan 12 tahun lalu.
Jadi sekali lagi, kalau ada subsidi, itu adalah investasi, bukan kerugian. Kayak MRT, itu pemerintah Provinsi DKI Jakarta mensubsidi Rp800 miliar per tahun. Itu pun baru dari Lebak Bulus sampai ke HI. Nanti kalau semua rute sudah selesai diperkirakan Rp4,5 triliun dari hitung-hitungan kami dulu, 12 tahun yang lalu, kuncinya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

