
Repelita Jakarta - Proyek pembangunan Stasiun Kereta Cepat Whoosh di Halim, Jakarta Timur, sempat mengalami ketegangan ketika Marsekal TNI Agus Supriatna, yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU), menolak aktivitas pembangunan di atas aset milik TNI AU. Penolakan tersebut terjadi karena adanya pekerja asing yang masuk ke area Halim tanpa izin resmi.
Agus mengungkapkan bahwa saat itu terdapat lima hingga enam orang pekerja asal Tiongkok yang membawa peralatan ke lokasi tanpa mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Ia kemudian memerintahkan anak buahnya untuk mengamankan para pekerja tersebut beserta seluruh perlengkapan yang dibawa.
“Saya suruh anak buah saya tangkap, sita semua barang-barangnya. WNA semua, tanpa izin. Kalau ada surat izinnya, masak saya tangkap dan sita,” ujar Agus dalam siniar Anak Bangsa Channel pada Selasa, 21 Oktober 2025.
Agus mengira bahwa tindakannya akan segera direspons oleh pejabat dari Kementerian BUMN atau Kementerian Perhubungan. Namun, ia justru dihubungi oleh Luhut Binsar Pandjaitan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Saya bingung dan kaget kok yang nelepon saya, bukan Menteri BUMN. Dan, bukan Menteri Perhubungan. Ini kok malah Pak Luhut Binsar Pandjaitan. Saya berpikir positif saja, mungkin beliau ingin memastikan langkah saya benar,” jelas Agus.
Ia menambahkan bahwa para pekerja asing tersebut sempat direncanakan untuk dideportasi. Namun, hingga kini tidak diketahui secara pasti apakah proses deportasi benar-benar dilakukan. “Ternyata mereka ada rencana dideportasi, tapi berangkatnya saya nggak nganter, soalnya. Saya juga nggak tahu deportasi bener atau tidaknya,” katanya.
Kini, proyek Kereta Cepat Whoosh menghadapi tantangan serius terkait pembiayaan. Total biaya pembangunan mencapai US$7,26 miliar atau sekitar Rp119,79 triliun dengan asumsi kurs Rp16.500 per dolar AS. Angka tersebut sudah termasuk pembengkakan biaya sebesar US$1,21 miliar atau Rp19,96 triliun dari nilai investasi awal yang ditetapkan sebesar US$6,05 miliar atau Rp99,82 triliun.
Sebagian besar dana proyek diperoleh dari pinjaman China Development Bank (CDB) dengan bunga sebesar 3,3 persen dan tenor hingga 45 tahun. Untuk membayar bunga pinjaman saja, dibutuhkan dana sekitar Rp2 triliun per tahun. Kondisi ini membuat PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai operator proyek sulit meraih keuntungan.
Agus yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Forum Penyelamat Demokrasi dan Reformasi, mengakui bahwa proyek Kereta Whoosh sejak awal hingga beroperasi penuh dengan masalah. Ia menyebut bahwa proyek ini berpotensi menimbulkan kerugian finansial setiap tahun.
“Utangnya kayak begitu bertambah tiap tahun, merugi. Kapasitas aja maksimum sampai 40 persen. Tapi DPR kan diam semua, makanya saya juga ikut diam,” ujarnya.
Agus juga menyatakan dukungannya terhadap sikap tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menutup utang proyek kereta cepat. Ia menilai bahwa komitmen tersebut harus dijaga demi keberlanjutan fiskal negara.
“Sudah disampaikan seperti ini, menolak membayar utang kereta cepat, saya setuju sekali dengan Pak Purbaya. Dan harus terus nih, tetap komitmen dengan apa yang beliau sampaikan,” tegasnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

