
Repelita Jakarta - Jagat media sosial digemparkan dengan beredarnya bagan isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka versus wacana pembubaran DPR yang dibuat oleh sejumlah diaspora.
Bagan ini memuat kronologi mulai dari surat pemakzulan Wapres Gibran yang dikirim oleh purnawirawan TNI ke DPR pada April 2025, hingga wacana pembubaran DPR yang memicu spekulasi politik luas.
Pengamat politik Pangi Sarwi Chaniago menilai kemunculan dua isu ini bukan kebetulan dan memiliki pola yang saling terkait.
“Kalau surat pemakzulan itu tidak masuk ke DPR, saya yakin DPR tidak akan jadi target serangan. Polanya terlihat jelas, ada benang merah antara pemakzulan Gibran dan wacana pembubaran DPR,” kata Pangi pada Senin, 8 September 2025.
Di media sosial, warganet ramai membedah kronologi peristiwa ini dan kini beredar bagan visual yang memetakan hubungan serta urutan kejadian antara isu pemakzulan Gibran dan wacana pembubaran DPR, termasuk tanggal, aktor politik, dan langkah-langkah yang diduga menjadi bagian dari skenario besar.
Kemunculan bagan ini memicu perdebatan sengit di publik dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai apakah DPR sedang digiring ke dalam jebakan politik tertentu.
Pangi juga menyoroti peran kelompok politik yang disebutnya “Geng Solo” yang diduga berada di balik ketegangan politik belakangan ini. Ia mengkritik sikap pasif para menteri terkait kelompok ini, khususnya saat peristiwa Agustus Kelabu yang sempat memicu gejolak nasional.
“Hampir semua menteri dari ‘Geng Solo’ diam seribu bahasa. Mereka tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil. Ini menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang mereka bela?” sindir Pangi.
Isu ini kemudian merembet ke diaspora Indonesia di luar negeri. Banyak WNI di berbagai negara menyatakan kekhawatiran dan menilai gejolak politik ini berpotensi melemahkan stabilitas pemerintahan jika tidak segera ditangani.
Pangi menekankan pentingnya transparansi. DPR dan pemerintah diminta segera memberikan penjelasan terbuka agar isu ini tidak berkembang menjadi krisis kepercayaan nasional.
“Kalau pemerintah dan DPR terus bungkam, narasi liar akan semakin liar. Pada akhirnya, publik bisa kehilangan kepercayaan, bukan hanya kepada DPR, tapi juga pada negara,” pungkasnya.
Publik kini menunggu jawaban: apakah ini dinamika politik biasa atau pertanda adanya operasi politik besar yang dapat mengguncang pondasi demokrasi Indonesia.
Bagan pemakzulan Gibran versus Bubarkan DPR menampilkan kronologi antara lain:
17 April: Forum Purnawirawan TNI mengusulkan pergantian Wapres Gibran kepada MPR/DPR.
26 Mei: Surat pemakzulan Gibran dikirim ke MPR/DPR.
2 Juni: Surat disampaikan ke MPR/DPR.
6 Juni: Jokowi menanggapi surat purnawirawan TNI bahwa pemilihan Presiden dan Wapres satu paket.
12 Juni: Jokowi bertemu kelompok Youtuber Nusantara.
2 Juli: Forum Purnawirawan TNI mengancam akan menduduki MPR/DPR jika surat pemakzulan tidak diproses.
3 Juli: Gibran bertemu Youtuber Nusantara.
15 Juli: Pimpinan DPR mengkaji surat pemakzulan Gibran.
25 Juli: Fenomena seruan memasang bendera One Piece berlangsung serentak di media sosial.
12 Agustus: Politisi DPR menyatakan sulit mencari yang halal di DPR, gaji DPR 3P dan tunjangan rumah 50 juta.
15 Agustus: Insiden joget anggota DPR setelah sidang paripurna.
19 Agustus: Forum Purnawirawan TNI menanyakan tindak lanjut surat pemakzulan ke MPR/DPR.
21 Agustus: Postingan provokatif untuk demo ke DPR beredar di platform X oleh akun yang diduga pendukung Gibran.
23 Agustus: Seruan unjuk rasa ke DPR melalui pesan berantai di grup WhatsApp oleh kelompok Revolusi Rakyat Indonesia.
25 Agustus: Massa demo DPR tanpa organisasi dan pimpinan tetapi dengan tema besar Bubarkan DPR.
27 Agustus: Forum Purnawirawan TNI mengirim surat kedua terkait pemakzulan Wapres Gibran.
28 Agustus: Aksi massa besar bersamaan dengan aksi buruh yang mengendarai becak listrik dan driver ojol.
29 Agustus: Demonstrasi menyebar ke berbagai kota di Indonesia disertai aksi anarkis.
30 Agustus: Rumah anggota DPR digeruduk dan dijarah massa.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

