
Repelita Jakarta - Tragedi Kilometer 50 yang terjadi pada 7 Desember 2020 di Tol Jakarta-Cikampek masih menjadi luka mendalam bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam.
Peristiwa ini menewaskan enam anggota laskar Front Pembela Islam dan disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat yang hingga kini belum terungkap secara tuntas.
Penyelidikan yang dilakukan dianggap hanya formalitas dan bahkan disebut sebagai dagelan hukum yang melecehkan rasa keadilan.
M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan, menekankan bahwa kasus ini tidak boleh dilupakan dan menyoroti dugaan keterlibatan Irjen Fadil Imran, yang saat itu menjabat Kapolda Metro Jaya, dalam merancang skenario menyesatkan publik.
Dengan munculnya bukti-bukti baru, desakan untuk mengusut tuntas kasus ini dan meminta pertanggungjawaban Fadil Imran semakin kuat.
Tragedi KM 50 bermula dari penguntitan rombongan Imam Besar Front Persaudaraan Islam Habib Rizieq Shihab oleh aparat Polda Metro Jaya terkait penyelidikan pelanggaran protokol kesehatan.
Situasi tersebut berujung pada penembakan yang menewaskan enam laskar FPI.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa empat dari enam korban masih hidup di rest area KM 50 sebelum akhirnya ditembak di dalam mobil polisi, sebuah tindakan yang dikategorikan sebagai unlawful killing.
Komnas HAM merekomendasikan kasus ini diproses melalui pengadilan pidana, namun pengusutan hingga kini dianggap belum memenuhi rasa keadilan.
Laporan Komnas HAM hanya berujung pada proses hukum terbatas, sementara dugaan pelanggaran HAM berat yang seharusnya ditangani melalui mekanisme peradilan HAM tidak ditindaklanjuti.
Bagi keluarga korban, hal ini menjadi bukti bahwa negara seolah menutup mata terhadap kejahatan serius yang merenggut nyawa enam warga negara tanpa dasar hukum jelas.
Keluarga korban terus bersuara menuntut keadilan dan menilai proses hukum yang berjalan hanyalah formalitas tanpa substansi.
Persidangan untuk dua oknum polisi dinilai jauh dari kata adil karena hanya menyentuh pelaku lapangan tanpa menyinggung aktor intelektual di balik tragedi.
Orang tua dan kerabat korban menggelar doa bersama, aksi tabur bunga, dan konferensi pers untuk mengingatkan publik bahwa darah anak-anak mereka belum mendapatkan keadilan.
Mereka menuntut dibentuknya Tim Pencari Fakta Independen yang benar-benar memiliki mandat kuat untuk membuka rekayasa kasus, mengungkap rantai komando, dan menyeret semua pihak yang terlibat ke pengadilan HAM.
Keluarga korban menegaskan bahwa tuntutan mereka bukan balas dendam, melainkan keadilan nyata.
"Anak kami bukan kriminal, mereka adalah pengawal Habib Rizieq yang gugur membela kehormatan," ungkap salah satu keluarga korban.
Tragedi KM 50 memicu gelombang kemarahan di kalangan umat Islam.
Ormas Islam, tokoh ulama, dan masyarakat menilai peristiwa ini sebagai represifitas negara yang melampaui batas.
Demonstrasi dan aksi solidaritas digelar di berbagai daerah untuk menuntut pengungkapan kasus secara transparan.
Front Persaudaraan Islam menegaskan KM 50 sebagai simbol kezaliman rezim.
Laskar yang gugur disebut syuhada, dan nama mereka terus disebut dalam berbagai aksi dan ceramah keagamaan sebagai pengingat kejahatan negara yang belum ditebus.
Organisasi mahasiswa, LSM hak asasi manusia, dan kelompok buruh juga ikut menuntut keadilan untuk KM 50.
Mereka menilai, jika kasus ini dibiarkan tanpa penyelesaian, praktik impunitas aparat keamanan akan terbuka di masa depan.
Tuntutan utama yang terus digema adalah pembentukan Tim Pencari Fakta Independen.
Tim ini dianggap penting karena penyelidikan internal kepolisian dianggap tidak kredibel dan sarat konflik kepentingan.
Keterlibatan lembaga independen, tokoh masyarakat, akademisi, dan Komnas HAM diyakini mampu membuka tabir yang selama ini ditutupi.
Seruan ini diperkuat oleh tokoh politik, aktivis, dan pakar hukum yang menilai kasus KM 50 harus diproses melalui pengadilan HAM.
Unlawful killing terhadap warga sipil yang tidak bersenjata dan berada dalam penguasaan aparat adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Jika negara tidak bersungguh-sungguh, Indonesia akan dicap gagal menegakkan prinsip hukum dan demokrasi.
Pemerintah, termasuk Presiden, Kemenko Polhukam, dan Kepolisian, hingga kini dinilai belum menunjukkan sikap tegas dalam menyelesaikan tragedi KM 50.
Pernyataan resmi pemerintah yang menyebut kasus ini sudah ditangani secara hukum dianggap tidak cukup, karena proses hukum tidak pernah menyentuh aktor utama.
Aparat kepolisian sering menolak tuduhan melakukan pelanggaran HAM berat, namun sikap defensif ini mempertebal kecurigaan publik adanya upaya menutup kebenaran.
Nama Irjen Fadil Imran yang terus disebut dalam berbagai laporan menjadi simbol tuntutan pertanggungjawaban.
Masyarakat menuntut agar ia diperiksa secara terbuka dan jujur, bukan diberi promosi jabatan yang dianggap bentuk impunitas. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

