Budi Santoso Sebut Munir Tak Perlu Jadi Target Intelijen BIN
Repelita Jakarta - Sosok Budi Santoso jarang disebut ketika kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib mencuat.
Munir meninggal akibat diracun arsenik saat melakukan penerbangan dari Jakarta menuju Belanda pada 7 September 2004.
Dalam kasus ini, Budi dikaitkan dengan eks Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Pr dan mantan pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto.
Muchdi pernah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana namun dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Desember 2008.
Sementara Polly dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena terbukti melakukan pembunuhan berencana dan memalsukan surat, kemudian mendapat pembebasan bersyarat pada 2018 sebelum meninggal akibat Covid-19 pada 2020.
Budi Santoso merupakan Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi (Direktur V.1) BIN dan sempat memberikan kesaksian dalam Berita Acara Pemeriksaan yang dibacakan jaksa di PN Jakarta Selatan pada 6 November 2008.
Ia mengungkapkan bahwa kematian Munir merupakan hasil kegiatan intelijen, namun direktorat yang dipimpinnya tidak terlibat dalam operasi tersebut.
Budi menunjukkan beberapa bukti yang mengaitkan kematian Munir dengan aktivitas intelijen, termasuk surat rekomendasi yang ditujukan kepada Indra Setiawan, Direktur Garuda Indonesia, yang memuat permintaan agar Polly diperbantukan pada corporate secretary.
Budi juga menyebut Polly dan Muchdi pernah mengadakan pertemuan, serta adanya aliran dana dari Muchdi kepada Polly.
Polly direkrut sebagai anggota jejaring non-organik BIN oleh Muchdi dan menerima instruksi langsung darinya, sementara Budi hanya menjadi penghubung.
Munir sebenarnya tidak perlu dijadikan target operasi BIN, namun aktivitasnya yang vokal dalam mengkritisi kasus pelanggaran HAM dianggap mengganggu pihak tertentu.
Budi menekankan bahwa penunjukan Munir sebagai target operasi bergantung pada individu yang merasa terganggu oleh aktivitasnya.
Dalam BAP tanggal 9 Oktober 2007, Budi mengaku pertama kali didatangi Polly di kantor BIN pada pertengahan 2004, yang meminta agar Budi mengoreksi surat penugasan di Garuda Indonesia.
Budi melihat surat tersebut sudah diketik rapi oleh Polly dan menggunakan bahasa yang tidak lazim di BIN, dengan kolom tanda tangan atas nama Wakil Kepala BIN As'ad.
Polly sering menghubungi Budi melalui telepon, termasuk pada 7 September 2004, pukul 10.00 WIB dan 15.00 WIB, untuk menanyakan keberadaan Muchdi.
Budi juga menyampaikan bahwa ia pernah diperintah Muchdi menyerahkan uang sebesar Rp 10 juta ke Polly pada 14 Juni 2004 dan kemudian Rp 4 juta setelah Polly diperiksa polisi, meski tidak mengetahui kegunaan uang tersebut.
Polly tidak memiliki jabatan struktural di BIN, namun menjadi jaringan intelijen yang mendapatkan penugasan langsung dari Muchdi.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

