Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Istilah “Tone Deaf” Viral di Medsos, Ini Arti dan Penggunaannya

Ilustrasi medsos

Repelita Jakarta - Istilah tone deaf belakangan mencuat di media sosial setelah gelombang demonstrasi pada 28 Agustus 2025.

Fenomena ini ramai diperbincangkan lantaran sebagian masyarakat memilih bersuara lantang menyuarakan aspirasi, sementara sebagian lainnya diam dan dianggap tidak peduli.

Warganet pun menyindir kelompok yang memilih bungkam dengan sebutan tone deaf karena dinilai abai terhadap kondisi sosial yang sedang memanas.

Dalam penjelasan yang dikutip dari Dictionary, tone deaf awalnya memiliki makna medis.

Istilah tersebut merujuk pada kondisi seseorang yang tidak mampu membedakan nada atau melodi dalam musik, yang secara medis dikenal dengan sebutan amusia.

Gangguan ini terjadi karena adanya kelainan pada otak dalam memproses bunyi dan nada.

Namun, penggunaan istilah tone deaf kini meluas ke ranah sosial dan politik.

Dalam konteks tersebut, istilah ini digunakan untuk menggambarkan individu yang tidak peka, gagal membaca situasi, atau tidak mampu memahami perasaan orang lain.

Kondisi ini biasanya dilekatkan pada figur publik yang dianggap tidak sensitif terhadap penderitaan masyarakat.

Misalnya, ketika seorang tokoh memamerkan kemewahan atau bersikap diam di tengah krisis sosial, publik segera melabelinya tone deaf.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga berlangsung di Indonesia.

Sikap sejumlah tokoh yang bungkam saat demonstrasi dan isu penting lainnya berlangsung menjadi sorotan tajam warganet.

Netizen menyebut sikap seperti itu menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap suara rakyat.

Penggunaan istilah ini kemudian menjadi alat kritik keras yang ramai digunakan di berbagai platform digital.

Bahkan, tone deaf kini dianggap sebagai simbol yang mengingatkan masyarakat agar lebih peka terhadap kondisi sosial.

Bahasa ini dipakai untuk menuntut tanggung jawab moral, terutama dari pejabat, selebritas, maupun figur publik lain yang memiliki pengaruh.

Selain itu, istilah ini juga memperlihatkan dinamika budaya digital di mana publik menggunakan kosa kata populer untuk mengartikulasikan kritik sosial.

Dengan begitu, tone deaf bukan hanya sekadar istilah, melainkan sudah menjadi bagian dari percakapan publik yang lebih luas.

Kehadirannya menunjukkan bagaimana bahasa terus berkembang sesuai konteks zaman.

Istilah ini kini melekat dalam wacana digital masyarakat Indonesia sebagai peringatan untuk menjaga empati dan kepekaan sosial di tengah berbagai tantangan.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved