Repelita Jakarta - Sidang perdana gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin, 8 September 2025.
Perkara ini diajukan oleh seorang advokat bernama Subhan dengan nilai gugatan mencapai Rp 125 triliun.
Subhan menggugat Gibran secara pribadi karena menilai syarat pendidikan calon wakil presiden yang diatur dalam undang-undang tidak dipenuhi.
Dalam sidang, Gibran menunjuk Jaksa Pengacara Negara dari Kejaksaan Agung sebagai kuasa hukumnya.
Langkah tersebut langsung dipersoalkan oleh pihak penggugat.
Subhan menegaskan bahwa dirinya tidak menggugat negara, melainkan pribadi Gibran.
Ia menyampaikan keberatan di ruang sidang dengan mengatakan, “Saya menggugat Gibran itu pribadi, waktu dia mencalonkan, kan belum jadi wapres.”
Pernyataan itu disampaikan Subhan ketika majelis hakim memeriksa legal standing para pihak yang terlibat.
Ketua Majelis Hakim Budi Prayitno menanggapi dinamika tersebut dengan menyarankan agar masalah kuasa hukum dibahas lebih lanjut sebelum perkara dilanjutkan.
Majelis hakim akhirnya memutuskan sidang ditunda.
Sidang lanjutan dijadwalkan kembali pada Senin, 15 September 2025.
Usai persidangan, Subhan menjelaskan bahwa ia keberatan Gibran diwakili Jaksa Pengacara Negara karena menurutnya jaksa hanya berwenang mewakili negara.
Ia juga menyinggung adanya surat kuasa dari Gibran yang menggunakan kop resmi dengan logo Kejaksaan.
Bagi Subhan, hal itu menunjukkan adanya keterlibatan institusi negara dalam perkara yang seharusnya bersifat pribadi.
Dalam petitumnya, Subhan meminta majelis hakim menyatakan Gibran tidak sah menduduki jabatan Wakil Presiden periode 2024-2029.
Ia juga menuntut Gibran dan Komisi Pemilihan Umum membayar kerugian materiil dan immateriil senilai Rp 125 triliun secara tanggung renteng.
Dana tersebut, menurut petitum, harus disetorkan ke kas negara.
Selain itu, Subhan meminta majelis hakim menghukum para tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp 100 juta setiap hari apabila lalai menjalankan putusan.
Kasus ini mendapat perhatian publik karena menyangkut penggunaan Jaksa Pengacara Negara dalam sengketa yang menurut penggugat tidak berkaitan dengan tugas kenegaraan.
Majelis hakim diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai batasan penggunaan kewenangan negara dalam perkara pribadi pejabat publik. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

