Repelita Jakarta - Kontroversi mengenai siapa dalang di balik aksi massa brutal masih terus menjadi perbincangan.
Ferry Irwandi, Founder Malaka, menegaskan bahwa fokus seharusnya tidak hanya tertuju pada spekulasi politik, melainkan kepada korban yang sering kali terlupakan.
Sejak peristiwa 25 Agustus 2025, tercatat sembilan orang meninggal dunia akibat bentrokan.
Namun perhatian publik dan media lebih banyak diarahkan pada isu makar, teori konspirasi, serta dugaan penggerak aksi, sementara nasib korban kurang diperhatikan.
Ferry menekankan bahwa para korban bukanlah sekadar angka statistik.
Mereka adalah individu nyata yang mengalami penderitaan fisik dan trauma psikologis mendalam, bahkan sebagian harus menanggung dampak seumur hidup.
Selain itu, keluarga yang ditinggalkan juga mengalami tekanan emosional dan ekonomi akibat kehilangan orang terdekat yang menjadi penopang kehidupan.
Nama sembilan korban yang meninggal dalam peristiwa itu adalah Afan Kurniawan, Andika Lutfi, Sarinawati, Abay, Saiful Akbar, Rusdam Ardiansyah, Reza Sandi, Iko Julian Junior, dan Sumari.
Menurut Ferry, nama-nama tersebut tidak boleh dilupakan.
Ia menegaskan keadilan bagi korban harus menjadi prioritas sebelum publik dan pemerintah terjebak dalam perdebatan panjang mengenai dalang di balik kerusuhan.
“Kita bisa membicarakan banyak nama soal dalang nantinya dan seumur hidup nama-nama itu tidak akan bisa kita lupakan,” ujarnya pada 3 September 2025.
Ferry juga mengingatkan bahwa dampak kerusuhan tidak hanya dirasakan oleh korban yang meninggal, tetapi juga masyarakat luas yang menyaksikan langsung kekerasan.
Trauma psikologis dan rasa takut menyelimuti lingkungan sekitar, meninggalkan luka sosial yang mendalam.
“Tapi hari berganti hari orang sudah tidak ingat lagi siapa yang meninggal.
Orang tidak ingat lagi luka apa yang ditimbulkan.
Dan orang bahkan mungkin tidak peduli lagi dengan keluarga-keluarga yang bersedih saat ini,” ucapnya.
Ia menilai perlunya evaluasi serius terhadap langkah aparat dalam menangani massa agar kejadian serupa tidak berulang.
Menurut Ferry, kematian dan luka para korban muncul akibat dua faktor besar, yakni tindakan aparat yang represif dan kekerasan massa yang tidak terkendali.
Dengan menempatkan korban sebagai pusat perhatian, publik diharapkan lebih fokus pada perlindungan hak-hak warga serta upaya pemulihan sosial, bukan hanya sekadar perdebatan mengenai siapa dalang di balik aksi tersebut.
Kasus ini kini menjadi perhatian nasional karena menyangkut masalah keamanan, hak asasi manusia, dan akuntabilitas aparat.
Ferry Irwandi menegaskan bahwa pemulihan kondisi korban dan keluarga mereka harus diutamakan sebelum energi bangsa terkuras dalam perdebatan politik semata.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

