
Repelita Jakarta - Desakan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencuat pasca kerusuhan yang terjadi pada akhir Agustus 2025. Aksi demonstrasi yang awalnya berlangsung di Jakarta dan beberapa daerah berujung anarkis, termasuk perusakan, pembakaran, serta penjarahan fasilitas umum dan rumah sejumlah pejabat, seperti anggota DPR Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, Uya Kuya, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Pengamat politik dan militer dari Universitas Nasional, Selamat Ginting, menilai pemerintah tidak boleh abai terhadap kasus ini. Dalam podcast To The Po!nt Aja! di kanal YouTube SindoNews, ia menekankan perlunya tim independen yang melibatkan berbagai unsur masyarakat.
“Pemerintah harus membuat tim gabungan pencari fakta untuk mengungkap ini dan itu melibatkan banyak pihak termasuk akademisi dan kita-kita ini yang punya kepedulian.
Jangan semua dari pemerintah dan partai politik, sementara mereka punya kepentingan berbeda. Jadi salah satu kuncinya, buat Tim Pencari Fakta Independen dalam kasus ini,” ujar Selamat Ginting, Senin (8/9/2025).
Ia juga meminta aparat intelijen bekerja maksimal menelusuri aktor intelektual di balik kerusuhan. Menurutnya, penting membedakan kelompok demonstran yang menyampaikan aspirasi dari pihak yang sengaja memicu kerusuhan.
Nada serupa datang dari Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi. Ia menyatakan Presiden Prabowo atau pemerintah harus segera membentuk TGPF yang kredibel agar masyarakat mengetahui fakta sebenarnya.
Hendardi menegaskan bahwa pembentukan tim ini juga akan membantu memisahkan aksi demokratis dengan agenda politik terselubung yang menunggangi unjuk rasa. Menurutnya, publik memiliki hak untuk tahu dan memperoleh rasa aman.
“Kedua, publik dan setiap warga negara memiliki hak untuk tahu (rights to know) dan merupakan subjek yang berhak atas perlindungan dan rasa aman. Presiden mungkin sudah memiliki data dan analisis serta telah menyusun langkah-langkah antisipatif lanjutan berkenaan dengan dinamika eskalatif yang terjadi,” kata Hendardi.
Ia menambahkan keterbukaan pemerintah harus dibarengi dengan partisipasi bermakna dari masyarakat. Hendardi mendorong keterlibatan pakar, tokoh agama, akademisi, aparat penegak hukum, media, dan elemen sipil lainnya dalam tim investigasi.
Menurutnya, TGPF menjadi langkah penting agar penanganan kasus tidak salah sasaran. Tim ini bisa memastikan hak publik untuk mengetahui kebenaran serta menciptakan rasa aman yang nyata.
Dalam catatan sejarah, Indonesia sudah beberapa kali membentuk TGPF untuk kasus besar. Misalnya Tragedi Mei 1998, penembakan mahasiswa Semanggi, kasus Wasior dan Wamena di Papua, hingga pembunuhan aktivis HAM Munir.
Selain itu, TGPF juga pernah dibentuk untuk mengusut teror terhadap penyidik KPK Novel Baswedan pada 2019 dan kasus penembakan di Intan Jaya, Papua, pada 2020. Tim tersebut selalu melibatkan gabungan unsur masyarakat sipil, tokoh agama, akademisi, serta aparat keamanan.
Dengan merujuk pengalaman tersebut, Selamat Ginting dan Hendardi sama-sama menilai pembentukan TGPF untuk kerusuhan akhir Agustus 2025 menjadi kebutuhan mendesak. Mereka menekankan bahwa upaya ini bukan hanya soal investigasi, tetapi juga pemulihan kepercayaan publik terhadap negara.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

