Repelita Jakarta – Polisi menetapkan 43 orang sebagai tersangka terkait kericuhan dalam demonstrasi di Jakarta pada akhir Agustus 2025.
Di antara mereka, dua nama yang menjadi sorotan adalah Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, dan Laras Faizati Khairunnisa, staf Sekretariat Parlemen ASEAN (AIPA).
Keduanya dituduh melakukan provokasi yang memicu aksi anarkis.
Penangkapan mereka menimbulkan perdebatan tentang prosedur hukum yang diterapkan.
Delpedro ditangkap pada malam 1 September 2025 di kantor Lokataru.
Menurut polisi, ia diduga mengunggah konten yang menghasut massa untuk melakukan tindakan anarkis.
Penangkapan dilakukan tanpa surat perintah resmi, memicu pertanyaan terkait legalitas tindakan tersebut.
Lokataru dan sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai penangkapan ini sebagai kriminalisasi terhadap aktivis.
Laras Faizati ditangkap pada 31 Agustus 2025 setelah mengunggah Instagram Story berisi ajakan membakar Markas Besar Polri.
Dalam unggahannya, Laras menyampaikan kekecewaan terhadap aparat keamanan dan menandai lokasi Mabes Polri sebagai sasaran.
Polisi menilai unggahan tersebut bisa memicu tindakan anarkis meski bersifat pribadi.
Laras kemudian dipecat dari jabatannya di AIPA pada 5 September 2025.
Keluarga Laras menyatakan unggahan itu merupakan ekspresi pribadi, bukan ajakan melakukan tindak pidana.
Mereka meminta perhatian pemerintah dan lembaga internasional terkait kasus ini.
Delpedro melalui surat dari tahanan menyebut penangkapannya sebagai pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan advokasi hak asasi manusia.
Kuasa hukum kedua tersangka mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka dan penahanan yang dianggap tidak sah.
Mereka berargumen bukti tidak cukup untuk menjerat klien mereka dengan pasal penghasutan.
Pihak kepolisian menyatakan proses hukum tetap berjalan sesuai prosedur dan akan dibuktikan di pengadilan.
Kasus ini memicu perdebatan publik mengenai batasan kebebasan berekspresi di media sosial.
Banyak pihak mendukung hak individu menyampaikan pendapat, namun ada pula yang menekankan pentingnya menjaga ketertiban umum.
Selain Delpedro dan Laras, beberapa tersangka lain juga ditetapkan terkait provokasi dan penyebaran hoaks tentang demo ricuh.
Mereka menghadapi ancaman pidana sesuai Undang-Undang ITE dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Demonstrasi yang dimulai pada 29 Agustus 2025 di Jakarta bermula dari aksi mahasiswa dan buruh menuntut reformasi legislatif dan penurunan biaya hidup.
Namun, aksi berubah ricuh dengan pembakaran fasilitas umum dan penjarahan.
Polisi menyatakan sebagian besar pelaku kericuhan berasal dari luar Jakarta dan bukan peserta resmi demo.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menegaskan penegakan hukum terhadap pelaku kericuhan dilakukan tegas dan sesuai peraturan.
Mereka mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi dan menyampaikan aspirasi secara damai.
Kasus ini menjadi sorotan internasional dengan beberapa lembaga hak asasi manusia meminta proses hukum terhadap Delpedro dan Laras transparan dan adil.
Mereka menekankan pemerintah Indonesia harus menghormati kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia.
Pemerintah menegaskan komitmen menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan ketertiban umum.
Mereka berjanji proses hukum terhadap kedua tersangka dilakukan profesional dan sesuai prinsip negara hukum.
Publik menunggu perkembangan praperadilan yang diajukan kuasa hukum tersangka.
Keputusan pengadilan menentukan apakah proses hukum terhadap Delpedro dan Laras sah secara hukum atau tidak.
Kasus ini juga menjadi bahan diskusi akademisi dan praktisi hukum mengenai penerapan UU ITE dan implikasinya terhadap kebebasan berekspresi di era digital.
Beberapa pihak menilai UU ITE perlu direvisi agar tidak dipakai membungkam kritik dan pendapat masyarakat.
Masyarakat berharap kasus ini selesai adil dan transparan, serta menjadi pelajaran menjaga keseimbangan kebebasan individu dan kepentingan umum.
Penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif akan memperkuat kepercayaan publik pada institusi negara dan sistem hukum Indonesia.
Kasus ini menunjukkan pentingnya peran media dalam menyajikan informasi akurat dan berimbang, serta mengedukasi publik mengenai hak dan kewajiban menyampaikan pendapat di ruang publik, fisik maupun digital.
Ke depan, diharapkan regulasi kebebasan berekspresi diperbaiki agar tidak ada pihak merasa dirugikan atau dikriminalisasi karena menyampaikan pendapat damai dan konstruktif.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

