Repelita Makassar - Dugaan intimidasi terhadap Yusuf Saputra, pemuda asal Takalar yang melaporkan enam oknum polisi, menuai perhatian serius dari kalangan akademisi hukum.
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Dr Rahman Syamsuddin, menilai tekanan yang diterima Yusuf dan keluarganya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
"Kalau menurut saya perlindungan dan pendampingan tekanan dan ancaman terhadap korban atau keluarga merupakan pelanggaran HAM," ujarnya pada Selasa (24/6/2025).
Ia menyarankan agar Yusuf segera mengajukan permintaan perlindungan resmi kepada lembaga terkait.
"Yusuf dan keluarganya sebaiknya meminta perlindungan dari aparat penegak hukum, baik polisi (Propam/Polda) maupun lembaga perlindungan saksi (contoh LPSK)," lanjutnya.
Rahman juga mendesak agar proses hukum terhadap para terlapor dipercepat.
"Selain itu perlu mempercepat proses hukum sidang etik dan pidana terhadap oknum polisi harus dipercepat," tegasnya.
Menurutnya, hukuman bisa dijatuhkan dari sanksi etik hingga pidana jika terbukti bersalah.
"Agar sanksi bisa dijatuhkan, mulai dari pemecatan hingga penjara, sesuai rekomendasi dari Propam dan Kompolnas," tambahnya.
Ia juga menilai bahwa publikasi media terhadap kasus Yusuf bisa menjadi penguat advokasi hukum dan pengawasan eksternal.
"Publikasi dan advokasi, kasus ini sudah mendapat perhatian media dan Kompolnas. Keluarga dan kuasa hukum bisa terus mendorong agar Komnas HAM dan instansi pengawas ikut memantau agar transparansi dan kepastian hukum berjalan," ujarnya.
Selain itu, Rahman menekankan perlunya reformasi di tubuh Polri agar kejadian serupa tidak terulang.
"Polri harus memperkuat mekanisme internal agar anggota polisi paham benar soal SOP, khususnya soal operasi, penahanan tanpa surat, dan relasi dengan warga. Kasus seperti ini merusak kepercayaan publik," katanya.
Ia menyebut bahwa kasus Yusuf merupakan gambaran lemahnya sistem pengawasan internal kepolisian.
"Kesimpulan kasus Yusuf bukan hanya masalah individual, tetapi cerminan lemahnya pengawasan internal terhadap aparat," jelasnya.
Rahman juga menilai bahwa tekanan terhadap Yusuf memperkuat urgensi perlindungan saksi dan pelapor.
"Ke depan, semoga proses hukum berjalan adil dan tegas, serta pelindung masyarakat benar-benar dibela oleh hukum, bukan sebaliknya," tutupnya.
Yusuf sebelumnya mengaku mendapat tekanan dari pihak yang mengatasnamakan keluarga terlapor.
Tekanan itu terjadi melalui kunjungan langsung ke rumah nenek dan mertuanya.
Ia menyebut mereka adalah kerabat yang mewakili pihak keluarga para pelaku dan meminta kasus diselesaikan secara kekeluargaan.
"Setiap saat ada orang yang datang ke rumah mertua dan nenek saya mau ketemu saya. Mereka termasuk keluarga juga namun mewakili utusan keluarga para pelaku. Tertekan ka ini saya rasa, makanya saya tidak pernah mau temui mereka," ungkap Yusuf, Sabtu (21/6/2025).
Ia mengaku makin tertekan setelah dua orang, salah satunya disebut bernama H. Mangung, dan seorang oknum polisi bernama Ali, datang mencarinya.
Meski tidak bertemu langsung, mereka meninggalkan pesan melalui anggota keluarga.
"Bilangnya, pesan keluarga pelaku, kalau saya tidak mau damai, tidak apa-apa, tapi pesan mereka saya disuruh hati-hati dan jaga diri saja. Itu jelas-jelas bentuk ancaman," tegasnya.
Karena situasi yang tidak kondusif, Yusuf memutuskan menyerahkan seluruh proses hukum kepada LBH Makassar.
"Saya serahkan semuanya ke LBH Makassar. Saya hanya ingin keadilan, dan tidak ingin lagi ada tekanan-tekanan seperti ini," ujarnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok