Repelita Jakarta - Dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi yang hingga kini tak kunjung dituntaskan berbuntut panjang. Sejumlah tokoh yang terus menyuarakan isu tersebut justru mengaku mendapat teror dan intimidasi dari pihak tak dikenal.
Dokter Tifauzia Tyassuma atau Dokter Tifa, melalui akun X @DokterTifa pada 29 Juni 2025, mengungkap bahwa dirinya dan keluarganya menjadi sasaran teror. Ia menyebut anak-anaknya diteror secara langsung di tempat tinggal mereka dan juga diancam melalui pesan pribadi.
"Anak-anak saya diteror, indekos mereka disatroni, dan diancam verbal akan disakiti," tulis Tifa.
Ia juga mengungkap bahwa kartu identitas anak-anaknya, seperti KTM dan KTP, disebarkan di media sosial dengan ancaman yang dikirimkan hampir setiap hari melalui WhatsApp.
Selain dirinya, Tifa menyebut bahwa Roy Suryo dan pakar digital forensik Rismon Sianipar juga mengalami hal serupa. Rismon disebut mengalami perusakan kendaraan secara berulang. Sementara Roy Suryo menerima kiriman benda-benda mencurigakan yang dikaitkan dengan dunia mistik.
"Sebetulnya siapa sih yang ketakutan ini? Kok banci sekali, anak-anak pun diserang? Pakai preman dan tangan orang lain," tegas Tifa.
Ia menilai serangkaian teror tersebut sebagai bentuk kepanikan dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan terbongkarnya kebenaran.
Menanggapi hal itu, Dosen Hukum dan Pemerhati Etika Demokrasi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin, menilai teror yang diterima Roy Suryo dan kawan-kawan merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi.
"Mengenai tiga alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengalami teror, bukan hanya mengganggu rasa keadilan publik, tetapi juga mencederai prinsip-prinsip fundamental dalam negara hukum dan demokrasi," kata Rahman.
Rahman menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi yang sehat, kritik terhadap pejabat publik tidak hanya sah, tapi dijamin konstitusi.
"Pasal 28E UUD 1945 secara tegas menjamin hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan," tegasnya.
Ia menyebut, kritik yang berbasis data dan analisa akademik merupakan bagian dari kontrol sosial yang konstruktif dan tidak boleh dibalas dengan ancaman.
"Jika benar terjadi intimidasi atau ancaman terhadap pihak-pihak yang mengungkapkan temuan akademik, maka hal ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip kebebasan akademik," jelas Rahman.
Ia juga menambahkan bahwa bentuk teror seperti ini berpotensi masuk dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 335 dan Pasal 368 KUHP.
"Bahkan, jika terbukti dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan maka ini berpotensi masuk dalam ranah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), yang bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechtsstaat)," katanya.
Rahman menekankan bahwa jika pelaporan akademik itu dianggap keliru sekalipun, penyelesaiannya harus tetap melalui mekanisme hukum.
"Menggunakan teror untuk membungkam kritik adalah bentuk pembangkangan terhadap prinsip due process of law," ujarnya.
Menurutnya, kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat di lingkungan akademik adalah bagian dari roh pendidikan tinggi.
Ia berharap negara tidak tinggal diam terhadap situasi ini dan mendesak aparat penegak hukum segera bertindak.
"Negara tidak boleh membiarkan ketakutan menguasai ruang akademik dan sipil," pungkasnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok.