Repelita Jakarta - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali menjadi perhatian publik, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di tingkat internasional.
Kebijakan-kebijakan yang diluncurkannya baru-baru ini menuai berbagai reaksi, dengan beberapa di antaranya dianggap kontroversial dan memicu perdebatan yang cukup luas.
Salah satu kebijakan yang mendapat sorotan internasional adalah program pengiriman siswa bermasalah ke barak militer, yang dinilai sebagai pendekatan ekstrem dalam mengatasi masalah sosial di Indonesia.
Menurut laporan dari Agence France-Presse (AFP), lebih dari 270 siswa yang bermasalah di Jawa Barat kini menjalani pelatihan ala militer sebagai bentuk pembinaan.
Mereka yang dikirim ke barak militer dianggap sering membolos, bermain gim larut malam, hingga terlibat dalam tawuran.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, memberikan dukungan terhadap kebijakan ini dengan mengatakan bahwa jika terbukti berhasil, program tersebut bisa diterapkan secara nasional.
Namun, kebijakan ini mendapat kritik keras dari KontraS yang menilai bahwa pendekatan tersebut lebih condong kepada hukuman fisik, yang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak.
Di sisi lain, Channel NewsAsia (CNA) juga melaporkan mengenai kebijakan serupa yang menyasar orang dewasa, khususnya mereka yang terlibat dalam perilaku menyimpang seperti konsumsi alkohol atau keterlibatan dalam geng jalanan.
Peserta program pelatihan militer tersebut akan diberi keterampilan di bidang pertanian, perikanan, dan konstruksi. Mereka akan dipekerjakan dalam proyek-proyek infrastruktur yang digagas oleh Pemerintah Jawa Barat.
Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap terlalu koersif dan memunculkan label sosial terhadap kelompok yang dianggap bermasalah.
Selain itu, kontroversi juga muncul terkait kebijakan lainnya yang diajukan oleh Dedi Mulyadi, yaitu wacana vasektomi sebagai syarat untuk memperoleh bantuan sosial.
Dalam laporan South China Morning Post (SCMP), Dedi Mulyadi mengusulkan bahwa laki-laki dari keluarga miskin yang ingin mendapatkan bantuan seperti listrik, sembako, atau perumahan harus bersedia menjalani vasektomi, dengan kompensasi uang tunai Rp500.000.
Kebijakan ini mendapatkan kecaman dari sejumlah tokoh agama dan pemerintah, termasuk Ketua MUI Cholil Nafis dan Menteri Sosial Saifullah Yusuf, yang menilai bahwa kebijakan ini melanggar hak reproduksi masyarakat miskin.
Para kritikus menyebutkan bahwa kebijakan ini sangat tidak manusiawi dan merendahkan martabat individu, terutama dengan mengaitkan kemiskinan dengan kontrol terhadap tubuh seseorang.
Kontroversi ini menambah daftar kebijakan provokatif yang pernah dilontarkan oleh pejabat Indonesia terkait isu kemiskinan.
Editor: 91224 R-ID Elok