Pernyataan Yusril Ihza Mahendra soal tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat ia bantah sendiri. Namun klarifikasi itu dinilai hanya dalih.
“Prof, maaf, kali ini ngelesnya kurang berkelas,” kata Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar dikutip dari unggahannya di Instagram, Selasa (22/10/2024).
Padahal menurut dosen Universitas Gadjah Mada itu, sebelumnya Yusril menganggap tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat
“Sepanjang yang saya pahami dari penjelasan bapak ini, dia anggap di 1998 itu tidak terjadi genosida dan etnic cleansing. Makanya bilang bukan pelanggaran HAM berat dan mau kordinasi lagi dengan menteri HAM,” ujarnya.
Pernyataan tersebut, menurutnya karena Yusril yang konon menjabat Menteri Koordinator Hukum dan HAM lupa UU 26 Tahun 2000. Di situ dijelaskan apa yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Ini dia mungkin lupa UU 26 Tahun 2000, yang bicara pelanggaran HAM berat itu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Di 1998 itukan dimasukkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang unsurnya dua yang penting yakni meluas dan sistematis. Menurut Komnas HAM, keduanya terpenuhi dalam kasus 98,” jelasnya.
Yusril sendiri telah mengklarifikasi pernyataannya yang menyebut tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM. Ia mengatakan pernyataannya disalahpahami.
"Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya apakah terkait masalah genocide atau kah ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998," kata Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/10).
Ia meminta masyarakat percaya pada pemerintah. Bahwa pemerintah akan menyelesaikan persoalan HAM. "Percayalah bahwa pemerintah punya komitmen menegakkan masalah-masalah HAM itu sendiri,” jelasnya.
“Jadi cukup mengerti tentang persoalan ini dan itu menjadi concern kita bersama-sama ya. Jadi jangan ada anggapan bahwa kita enggak peduli apa yang terjadi di masa lalu," tambahnya seperti dikutip dari fajar
Diketahui, Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi sudah mengakui Peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999 termasuk dua dari 12 pelanggaran HAM berat yang diakui oleh pemerintahannya.
Disinggung mengenai hal ini, Yusril memberikan tanggapan. Ia berujar pemerintahan saat ini akan kembali mempelajari.
"Ya kategori seperti itu memang sudah dikemukakan dan kita kategori-kategori itu kan sudah dibuat keputusan oleh pemerintah yang lalu. Pemerintah yang sekarang kan belum. Kan ini baru sama sekali ya dibentuk koordinator HAM ini," kata Yusril.
"Dan tidak ada salahnya kalau kami memang pelajari apa yang dirumuskan pemerintah yang lalu dan apa juga yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM dan juga pandangan-pandangan masukan-masukan yang diberikan oleh masyarakat," sambung Yusril.
Yusril meminta masyarakat percaya terhadap komitmen pemerintah dalam menegakkan masalah-masalah HAM.
"Percaya lah bahwa pemerintah punya komitmen menegakkan masalah-masalah ham itu sendiri," ujar Yusril.
Yusril kembali mengklaim bahwa ia mengerti tentang persoalan kasus 1998. Ia mengaku turut menyaksikan apa yang terjadi.
"Ada di sini, di tempat ini dan menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi dan pada awal-awal itu saya juga menjadi Menteri Kehakiman dan HAM," kata Yusril.
"Jadi cukup mengerti tentang persoalan ini dan itu menjadi concern kita bersama-sama ya. Jadi jangan ada anggapan bahwa kita enggak peduli apa yang terjadi di masa lalu. Tetap. Itu mungkin agak misunderstanding (salah paham) terhadap apa yang dikatakan kemarin ya," kata Yusril.
Sempat Sebut Tragedi 98 Bukan Pelanggaran HAM Berat
Yusril sebelumnya menyatakan bahwa kasus pelanggaran hak asasi manusia di tahun 1998 bukan termasuk kategori pelanggaran HAM berat.
Mantan Ketum Partai Bulan Bintang ini menegaskan hal tersebut ketika ditanya mengenai pelanggaran 98 termasuk daalam pelanggaran HAM berat atau tidak oleh awak media di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10/2024).
"Enggak," katanya.
Yusril mengemukakan bahwa semua pelanggaran HAM atau setiap kejahatan merupakan pelanggaran HAM, namun tidak semua kejahatan termasuk dalam pelanggaran HAM berat.
"Pelanggaran HAM yang berat itu kan genosida, ethnic cleansing tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir, mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya pada waktu awal peran kemerdekaan kita 1960-an," katanya.
Namun ia menjelaskan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus 98.
Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat
Presiden Jokowi sebelumnya mengakui pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat terjadi di berbagai peristiwa di Indonesia. Ia menyesalkan atas terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut.
Itu disampaikan Jokowi usai membaca laporan dari tim penyelesaian yudisial pelanggaran HAM yang berat. Tim tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1/2023).
"Saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat," sambungnya.
Adapun peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Jokowi terjadi di Indonesia ialah:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa penembakan misterius 1982 1985
- Peristiwa Taman Sari Lampung 1989
- Peristiwa rumah gedong dan pos statis di Aceh 1989
- Peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998
- Peristiwa kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999
- Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998 1999
- Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999
- Peristiwa wasior di Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena Papua di 2003
- Peristiwa jambu Kapuk di Aceh tahun 2023
***