Ekonom senior, Prof Didik J Rachbini menilai kebijakan utang yang diperlihatkan pemerintahan Jokowi, sangatlah otoriter. Sehingga jangan heran angkanya menumpuk menuju Rp10 ribu triliun.
"Nah, sekarang setelah 10 tahun Jokowi berkuasa, pura-pura lugu. Pura-pura enggak ngerti apa-apa. Tapi ternyata setelah 10 tahun kelihatan, maka sebenarnya pemerintahan ini dijalankan secara otoriter oleh Raja Jawa," ungkap Rektor Universitas Paramadina itu, di Jakarta, dikutip Selasa (17/9/2024).
Celakanya, lanjut mantan anggota DPR asal PAN ini, tidak seorangpun di DPR yang konsisten menjalankan tugas check and balance dalam pengambilan keputusan terkait utang pemerintah. Alhasil, saat ini, utang pemerintah terus menggelinding menuju Rp10 ribu triliun. "Dan dampaknya untuk bayar bunga saja sudah sedemikian besar setiap tahun," ungkapnya.
Selama ini, kata ekonom kelahiran Pamekasan, Madura, Jawa Timur itu, tim ekonomi Jokowi mulai Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani hingga Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut B Pandjaitan selalu menyebut utang masih aman karena rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) belum 100 persen.
Kemudian membandingkannnya dengan utang dari negara-negara berperekonomian maju namun utangnya menjulang, menurut Didik tidaklah apple to apple. Dengan kata lain, pernyataan mereka itu menyesatkan.
Sebut saja Jepang, meski rasio utangnya terhadap PDB mencapai 100 persen, namun bunga utang mereka sangatlah rendah. Hanya 0,7-0,9 persen per tahun. Misalnya, utang Jepang sebesar Rp500 triliun maka bunganya hanya Rp30 triliun. "Sementara Indonesia, utangnya sekitar Rp8.500 triliun sekarang, bunganya saja sudah Rp500 triliun," kata Didik.
Sehingga wajar jika ekonom mumpuni sekelas Prof Didik, mengingatkan pemerintahan baru agar tidak melanjutkan tata kelola utang yang terkesan ugal-ugalan. Kalau tidak, prediksi ekonom senior Almarhum Faisal Basri semakin mendekati kenyataan.
"Pemerintahan baru nanti, Prabowo Subianto, dipastikan mewarisi utang sebesar itu. Kalau nanti berutang lagi, dengan menjalankan kebijakan yang sama dengan Jokowi, maka seperti yang dikatakan Almarhum Faisal Basri, Insha Allah kita akan krisis. Bahkan lebih dalam krisisnya," pungkas Prof Didik.
Sebelumnya, Luhut mengeklaim utang pemerintah Indonesia masih yang terkecil di dunia. "Pemerintah Indonesia baru punya utang Rp7.000 triliun dan paling terkecil di dunia," ungkap Luhut, Selasa (9/8/2024).
Ia menekankan bahwa utang itu digunakan untuk kegiatan produktif. Salah satunya pembangunan jalan tol. "Pemerintah, tak bodoh atau sembarangan dalam menggunakan utang. Semua pembangunan telah dihitung dengan benar, termasuk return on investment," kata dia.
Sebagai contoh, pembangunan Jalan Tol Serang-Panimbang sepanjang 85 km. Luhut menjamin bahwa pembangunan itu akan meningkatkan ekonomi masyarakat Banten.
Dengan kata lain, ada dampak positif yang dihasilkan dari penggunaan utang tersebut.
Tak hanya itu, Luhut mengklaim rasio utang RI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 40 persen. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan rasio utang di negara-negara maju yang tembus 100 persen terhadap PDB. Berikut rincian proyeksi rasio utang negara terhadap PDB pada 2022:
Negara Maju
- Jepang: 262,54 persen
- Amerika Serikat (AS): 125,58 persen
- Prancis: 112,58 persen
Negara Berkembang:
- Brazil: 91,89 persen
- India: 86.9 persen
- China: 77,84 persen
Seperti dikutip dari inilah
Indonesia Terjerat Utang Luar Negeri, Rektor Paramadina: Akibat Kebijakan Jokowi, sudah Diperingatkan Faisal Basri
Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini menyampaikan pesan Faisal Basri tentang kebijakan fiskal negara yang mengalami defisit. Ia mengatakan kebijakan fiskal mengalami defisit disebabkan pemerintah era Presiden Jokowi terlalu banyak mengambil utang luar negeri yang terlalu banyak.
"Kebijakan fiskal yang defisit ini, dia (Faisal Basri) menilai bahwa fiskal defisit dalam batas tertentu tidak diterima ya, terutama dalam situasi krisis justru dijadikan kesempatan untuk mengeruk hutang sebanyak-banyaknya," kata Didik dalam forum bertajuk "Melanjutkan Kritisme Faisal Basri: Memperkuat Masyarakat Sipil, Mengawasi Kekuasaan" yang diselenggarakan melalui platform zoom pada Ahad, 15 September 2024.
Lebih lanjut, Didik mengkritisi perbuatan Presiden Jokowi terhadap kebijakan fiskal yang mengalami defisit. Ia mengatakan defisit semakin besar dikarenakan adanya pembangunan infrastruktur yang tidak seimbang dengan kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Sehingga defisit itu semakin besar dan penggunaan untuk proyek-proyek besar juga tidak meningkatkan pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
Adanya pembangunan infrastruktur yang terlalu berlebihan, kata Didik hal itu juga memberatkan sektor industri. Akibatnya, menurut dia, pendapatan di sektor industri mengalami penurunan, sementara daya saing semakin tinggi.
"Semakin besar daya saing dan juga berat, sektor industri itu akan tengkurap ya, jeblok jadi karena itu nanti memilih Menteri Perindustrian harus yang benar ya jangan asal-asalan," kata Didik.
Sementara itu, Didik juga menyampaikan kritik yang pernah diungkapkan Faisal Basri terhadap pemerintah. Kritik itu, kata Didik, terkait hilirisasi yang menjadi trending di era kepemimpinan Presiden Jokowi.
"Pak Faisal itu mengkritik hilirisasi. Dia pertamanya mengungkap masalah di industrialisasi dan hilirisasi menurut dia sebaiknya diformatkan menjadi industrialisasi," ujar Didik.
Didik menjelaskan alasan mengapa Faisal Basri mengkritisi kata hilirisasi terhadap pemerintah saat ini. Ia mengatakan di dalam akademik kata hilirisasi tidak memiliki makna apapun, sehingga Faisal Basri pada saat itu mengganti kata hilirisasi menjadi industrialisasi.
"Karena itu di akademik (Industrialisasi) lebih enak bunyinya ketimbang hilirisasi yang keluar dari mulutnya Jokowi jadi lebih baik kosakatanya itu industrialisasi," tutur Didik.
Selain itu, Didik juga menjelaskan kritik yang pernah disampaikan Faisal Basri terkait industrialisasi. Ia mengungkapkan bahwa industri era Presiden Jokowi paling buruk dalam standar Purchasing Managers' Index atau PMI.***