Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga membelokkan kasus dugaan gratifikasi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, soal penggunaan jet pribadi saat bepergian ke Amerika Serikat.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah mengatakan, perbedaan pernyataan antara Pimpinan dan Jurubicara KPK mengindikasikan adanya upaya mengabaikan penanganan kasus anak presiden.
"Ada unsur sengaja untuk mengaburkan persoalan ini (kasus dugaan gratifikasi Kaesang)," ujar Trubus saat dihubungi RMOL, Senin (9/9).
Dalam kaca mata kebijakan publik, seharusnya KPK sebagai lembaga "superbody" yang khusus menangani kasus dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat memberikan penjelasan yang baik kepada publik.
"Karena ada dua pendapat yang akhirnya membingungkan publik. Seharusnya sebagai lembaga negara pernyataannya satu," tegas Trubus.
Oleh karena itu, selain menduga ada upaya menutup kasus dugaan gratifikasi Kaesang, dosen Universitas Trisakti itu menganggap kerja KPK tak lagi mandiri.
"Artinya KPK tidak independen dan tidak profesional," pungkas Trubus seperti dikutip dari rmol
TEGAS Bantah Petinggi KPK, Guru Besar FH UGM: Kaesang Tak Boleh 'Dibebaskan' Dari Tuduhan Gratifikasi!
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atau FH UGM, Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan pengawasan penerimaan gratifikasi dilakukan tidak hanya kepada penyelenggara negara. Ini juga ditujukan untuk keluarga dan anak-anaknya.
“Jadi tidak bisa serta merta (Kaesang) dibebaskan. Gratifikasi itu harus dilihat ada kaitannya dengan keluarga yang punya jabatan atau bahkan anggota PSI yang juga punya jabatan,” kata Akbar seperti dikutip dari Tempo.co, Ahad, 8 September 2024.
Hal ini disampaikan Akbar menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron.
Nurul Ghufron mengatakan anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, tidak berkewajiban melaporkan penerimaan gratifikasi.
Komisioner KPK itu mengatakan pertimbangan penerimaan gratifikasi bersifat pelaporan dari penyelenggara negara, seperti bupati dan gubernur.
Jika seorang penyelenggara negara menerima gratifikasi, maka yang bersangkutan wajib melaporkan ke KPK.
Pelaporan ini akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan dan menentukan apakah gratifikasi tersebut dirampas atau diserahkan kembali kepada si penerima.
Akbar mengungkapkan, berdasarkan aturan hukum dalam Pasal 12C Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), ada pengecualian jika penerima gratifikasi melaporkannya kepada KPK dalam waktu 30 hari sejak diterima.
Selain itu, dalam Pasal 12B UU Tipikor, setiap gratifikasi yang diterima penyelenggara negara dianggap sebagai suap, jika berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
“Sebenarnya yang wajib melaporkan memang hanya penyelenggara negara. Namun, harusnya diselidiki lebih lanjut penerimaan gratifikasi Kaesang itu ada hubungan dengan keluarganya yang sebagai penyelenggara negara atau tidak,” kata Akbar.
Akbar juga mengambil contoh kasus Nurhadi, bekas Sekretaris Mahkamah Agung, yang menerima gratifikasi melalui menantunya, Rezky Herbiyono.
Nurhadi didakwa menerima suap dan gratifikasi sampai puluhan miliar berhubungan dengan pengurusan perkara pengadilan tingkat sampai peninjauan kembali atau PK.
Gratifikasi dari penyelenggara bersama keluarganya membuat mereka divonis 6 tahun penjara.
Sama dengan kasus Nurhadi, Akbar menilai, dugaan gratifikasi Kaesang harus diselidiki KPK.
Sebab, Kaesang merupakan anak Presiden Jokowi dan adik Gibran Rakabuming Raka yang menjadi keluarga dari penyelenggara negara.
“Semua hal (berkaitan gratifikasi) harus dilaporkan ke KPK sejak 30 hari diterima. KPK juga harusnya menyelidiki siapa pemberi dan mengapa memberikan (gratifikasi) kepada Kaesang. Jika ada kaitan dengan penyelenggara negara tertentu, bisa masuk dan dianggap sebagai gratifikasi,” kata Akbar.***