Pada akhir 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengutarakan kekhawatirannya terhadap peredaran uang yang makin kering, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sekitar 5%.
Jokowi menilai masalah tersebut muncul karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI menerbitkan terlalu banyak instrumen, yakni Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI).
Setelah itu, likuiditas bank membaik. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mengalami akselerasi, walaupun masih terpaut jauh dibandingkan dengan pertumbuhan kredit.
Akan tetapi pada paruh pertama tahun ini, pertumbuhan DPK kembali melambat dalam dua bulan beruntun DPK tumbuh melambat, terutama pada rekening giro.
Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan DPK melandai menjadi 7,5% (year on year/yoy) pada Juli 2024 atau lebih rendah dibandingkan Juni 2024 yang berada di angka 8,2% yoy. DPK melandai dua bulan beruntun setelah menyentuh titik tertingginya pada Mei 2024 yakni 8,5% yoy.
Pertumbuhan DPK yang melambat ini terjadi baik dalam rupiah maupun valuta asing (valas). Penghimpunan DPK berdasarkan valuta rupiah juga melandai menjadi 5,9% yoy pada Juli 2024 dan valas juga melandai menjadi 16,7% yoy.
Hal ini kemudian diikuti oleh menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia. Seyogyanya segmen ini merupakan kelas yang memiliki alokasi tabungan dari total pendapatan.
Kelas menengah di Indonesia turun kasta sejak masa krisis Pandemi Covid-19, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%.
Artinya ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas. Karena, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk.
Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas kedua kelompok itu.
"Bahwa memang kami identifikasi masih ada scarring effect dari Pandemi Covid-19 terhadap ketahanan dari kelas menengah," ucap Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dikutip Sabtu (31/8/2024).
Sementara itu, pertumbuhan tabungan masyarakat yang kurang dari Rp100 juta dari Juli 2016 hingga Juli 2019 tercatat sebesar 26,3%. Sementara masyarakat dengan tabungan Rp100 juta hingga Rp200 juta di periode yang sama bertumbuh 29,4%.
Pertumbuhan ini tampak mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi Juli 2021 hingga Juli 2024 yang hanya bertambah 11,9% untuk masyarakat dengan tabungan kurang dari Rp100 juta dan naik 13,3% untuk masyarakat dengan tabungan Rp100 juta hingga Rp200 juta.
Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki tabungan di atas Rp5 miliar atau yang banyak diisi oleh pihak korporasi, justru cenderung mengalami peningkatan yang signifikan.
Pada Juli 2016 hingga Juli 2019 tercatat mengalami kenaikan sebesar 29,7% dan pada Juli 2021 hingga Juli 2024 kembali bertumbuh bahkan lebih tinggi yakni sebesar 33,9%.
Ketua Dewan Komisioner (DK) LPS, Purbaya Yudhi Sadewa berekspektasi pertumbuhan DPK perbankan bakal tumbuh sampai double digit tahun depan. Menurutnya, itu dapat dicapai dengan merealisasikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7% hingga 8%.
"Otomatis kalau ekonominya baik, pertumbuhan DPK juga bagus, uang saya [LPS] makin banyak. Ekonominya juga stabil, jadi uangnya makin bertumbuh. Jadi ekspektasi kita begitu. Dan peluang untuk itu terbuka lebar," ujarnya selepas Bloomberg CEO Forum di St Regis Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Purbaya juga menegaskan, jika pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat bisa direalisasikan dengan segera tahun depan, maka kita akan bisa double digit DPK-nya.
Terpisah, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BTN) Nixon Napitupulu mengatakan, bahwa likuiditas tersedia, namun mahal akibat dampak dari suku bunga tinggi yang diperkirakan bertahan lama.
"Likuiditas aman, likuiditas no issue. Cuma masalah kan harganya. Jadi kalau tanya 'Likuiditas ketat nggak?' Definisi ketat itu kan pesannya nggak ada. Likuiditas ada, tapi harganya naik. Itu yang terjadi Jadi lo beli pakaian, pakaian ada nggak? Ada, tapi harganya naik," kata Nixon di Perumahan Pesona Kahuripan 9, Kabupaten Bogor, dikutip Minggu (8/9/2024) lalu.
Sementara itu, Direktur Keuangan dan Strategi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Sigit Prastowo mengatakan likuiditas tetap menjadi concern utama bank pelat merah itu untuk semester II-2024. Ia mendasari itu dari rasio pinjaman terhadap simpanan bank BUMN yang mengalami tren kenaikan.
Ia melanjutkan, permintaan kredit pun cukup tinggi. Namun, itu tidak diimbangi dengan pertumbuhan simpanan atau dana pihak ketiga yang tinggi.
"Terus kedua, di sisi pertumbuhan atau demand kreditnya cukup tinggi. Jadi memang secara umum, kalau secara industri pertumbuhan kreditnya itu lebih tinggi dari pertumbuhan fundingnya. Loan kan secara nasional tumbuhnya kira-kira 11-12%, fundingnya tumbuhnya 7-8%. Otomatis ini akan dorong kenaikan LDR secara keseluruhan. Sehingga bisa dibilang liquidity ini tetap akan menjadi concern," ujar Sigit.
Terpisah, Direktur Kepatuhan OK Bank Efdinal Alamsyah menyampaikan bahwa tabungan yang terhimpun turun sekitar 12% secara tahunan atau year on year (yoy) per 4 September 2024.
Menurut Efdinal, menurunnya daya beli membuat nasabah mengalihkan pengeluaran mereka ke kebutuhan dasar atau barang yang lebih esensial.
"Ini bisa tercermin dari perubahan pola transaksi, misal penurunan pada transaksi di kategori seperti hiburan atau restoran, sementara ada peningkatan dalam kategori seperti bahan makanan atau kebutuhan rumah tangga," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (6/9/2024).