Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Agtas mengatkan, pemerintah tak ada niat menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menjegal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70.
Hal itu merespons isu pemerintah bakal bermanuver setelah DPR gagal mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada.
"Ini kan terlalu didramatisir saja. Sampai hari ini saya belum sama sekali mendengar terkait hal
tersbut. Ini baru kali ini saya dengar, dan ada sampai hari ini tidak ada upaya menuju ke arah sana (menerbitkan perppu)," kata Supratman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (23/8/2024).
Dia menegaskan, pemerintah akan mengikuti proses yang terjadi di DPR. Lagipula, menurutnya apa yang disampaikan pimpinan parlemen sudang sangat jelas.
"Dengan DPR sudah menyatakan bahwa hal ini dituda rapat paripurannya, maka tentu pemerintah
ikut karena tidak ada pilihan lain, karena itu yang jadi harapan kita semua," kata Supratman.
Sebelumnya, Wakil Ketu DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa DPR batal mengesahkan revisi UU Pilkada dan akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sejumlah syarat untuk mencalonkan kepala daerah.
Alasannya karena Rapat Paripurna DPR yang seharusnya diagendakan untuk mengesahkan revisi UU Pilkada tidak memenuhi kuorum.
Diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengebut pembahasan revisi UU Pilkada pada Rabu (21/8).
Pembahasan revisi UU Pilkada ini merespon putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Dari 9 fraksi, hanya Fraksi PDI Perjuangan yang menolak pengesahan revisi UU Pilkada. Dengan alasan tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Dua poin krusial yang menjadi pembahasan antara lain terkait batas usia calon kepala daerah. Baleg memilih mengacu pada putusan MA.
Dalam putusan MA, batas usia calon kepala daerah dihitung sejak pelantikan. Sementara jika
mengacu pada putusan MK, batas usia ditetapkan saat KPU menetapkan sebagai calon.
Selain itu, Baleg meyepakati putusan MK terkait perubahan syarat pencalonan kepala daerah dari
partai politik hanya berlaku bagi partai yang tak memiliki kursi di DPRD.
Sementara Partai yang punya kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD
atau 25 persen suara pemilu sebelumnya seperti dikutip dari era
Denny Indrayana: Nepotismenya Mengganggu Betul
Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana menilai penolakan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bagian dari tindakan inkonstitusional.
Termasuk putusan MK terbaru nomor 60 dan 70 tentang syarat minimal dukungan partai politik dan batas usia minimal calon kepala daerah.
Penolakan itu membuat rakyat marah karena melihat kepentingan politik kelompok tertentu.
"Yang bikin marah persoalan Kaesang-nya, Gibran-nya, nepotismenya," kata Denny dalam diskusi politik, Kamis (22/8).
Denny menuturkan, adanya penilaian bahwa pembangkangan ini sebagai nepotisme membuat rakyat marah. Sehingga terjadi aksi massa besar-besaran menolak keputusan DPR RI. "Yang kita lihat nepotisme yang mengganggu betul, menggunakan instrumen hukum," lanjutnya.
Sebelumnya, dalam putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, MK mempertegas aturan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Bahwa syarat minimum usia calon kepala daerah yang diatur dalam UU Pilkada berlaku pada saat pendaftaran calon.
Syarat minimum usia itu masing-masing 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon wali kota dan wakil wali kota serta calon bupati dan wakil bupati.***