Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada Rabu (21/8/2024), sehari setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan kepala daerah.
Namun, langkah yang dilakukan Baleg memicu respons negatif dari sejumlah warga Jakarta lantaran mereka merasa akan dirugikan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 mendatang.
Untuk diketahui, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.
MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Berdasarkan putusan MK ini, threshold pencalonan gubernur Jakarta hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada pemilihan legislatif sebelumnya.
Putusan MK ini membuat PDI-P bisa mengusung kandidat sendiri pada Pilkada Jakarta 2024 setelah 12 parpol diborong untuk mendukung Ridwan Kamil dan Suswono sebagai pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
Namun, Baleg mengakali Putusan MK yang melonggarkan threshold pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu.
Baleg mengakalinya dengan membuat pelonggaran threshold itu hanya berlaku untuk partai politik yang tak punya kursi DPRD.
Threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi DPRD.
Dengan aturan ini, PDI-P kembali tak bisa mengusung calon di Jakarta karena partai lain sudah bersatu dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Ridwan Kamil-Suswono.
Paslon yang diusung KIM Plus pun cukup bertarung dengan calon independen, yakni Dharma Pongrekun dan Kun Wardana.
Membatasi pilihan calon
Warga Sunter Jaya, Jakarta Utara, bernama Ari (40) mengaku menyesalkan langkah yang dilakukan Baleg.
Ia merasa hal tersebut akan membatasi pilihan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta yang akan ia pilih nanti.
"Ya kalau Ridwan Kamil sama Dharma doang (yang maju Pilkada Jakarta) enggak ada pilihan. Pilihannya terbatas," ucap Ari kepada Kompas.com, Rabu (21/8/2024).
Jika nantinya Pilkada Jakarta 2024 hanya diisi oleh dua calon yang berlaga, Ari mengaku bahwa itu bisa mengurangi minatnya untuk memberikan hak suaranya.
"Kalo Ridwan Kamil (sama) Dharma doang, nyoblosnya fifty-fifty. Bingung mau nyoblos apa enggak. Soalnya enggak ada pilihan lagi. Tadinya kalau warga sini mau dukung Ahok (Basuki Tjahaja Purnama)," tutur perempuan yang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) itu.
Bikin gondok
Nawang Wulan, warga Sunter Jaya, Jakarta Utara, mengaku dongkol dengan siasat Baleg yang mengakali putusan MK.
"Gondok (dengan langkah Baleg) karena MK sudah mutusin tapi kok DPR malah ubah lagi, enggak mihak rakyat," kata Wulan saat dihubungi Kompas.com, Rabu.
Menurut Wulan, langkah Baleg menganulir putusan MK mencerminkan perilaku negatif terhadap masyarakat.
Ibu rumah tangga ini merasa pihak yang tengah berkuasa tak henti-hentinya untuk meraih kekuasaan.
"Ini kayaknya lagi rebutan kekuasaan. Sejak anak Jokowi dilolosin jadi wakil presiden kok negara ke sini-sini jadi amburadul kelihatannya, enggak jelas," tutur Wulan.
Preseden buruk bagi demokrasi
Warga Ciganjur, Jakarta Selatan, bernama Bimo (31) memprotes langkah Baleg DPR yang menganulir putusan MK.
Ia merasa DPR seolah berkali-kali berusaha mengakali dan mengangkangi hukum.
"Keputusan yang dilakukan DPR jadi preseden buruk bagi proses demokrasi di Indonesia dan juga semakin menunjukkan kemunduran proses kita bernegara dan berdemokrasi," jelas Bimo kepada Kompas.com, Rabu.
Bimo berharap masyarakat tak apatis dengan situasi politik saat ini yang semakin mengkhawatirkan.
"Harapannya masyarakat bisa lebih lantang menyuarakan protes atas kesewenangan DPR dan pemerintah sehingga mereka mendengar warga," ujarnya.
Peraturan negara mudah diatur
Rifqi (29), warga Koja, Jakarta Utara, merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh Baleg DPR.
Pekerja swasta itu menganggap, peraturan negara saat ini begitu mudah untuk diatur sesuai kemauan pihak-pihak yang berkuasa.
"Masa putusan MK segampang itu diotak-atik," jelas Rifqi, Rabu.
Rifqi menyampaikan, tindakan Baleg DPR yang tiba-tiba merevisi UU Pilkada untuk merevisi putusan MK adalah sebuah pembangkangan.
Menurutnya, hal tersebut tidak boleh dilakukan oleh DPR.
"Ya pastinya enggak bagus buat iklim demokrasi dong. MK kan harusnya punya kuasa tertinggi," imbuhnya.
Harus peduli
Sementara itu, Rama (31), warga Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berujar bahwa masyarakat harus peduli dengan situasi politik saat ini usai Baleg DPR merevisi UU Pilkada.
Ia menilai langkah Baleg DPR merivisi UU Pilkada dan menganulir putusan MK hanya akan menguntungkan pihak penguasa dalam pelaksanaan Pilkada 2024.
"Mau enggak mau kita memang harus aware. Pilkada itu ajang pesta demokrasi paling dekat dengan rakyat. Perihal lingkungan, pembangunan di daerah, sumber daya, sampai dengan mudah atau sulitnya akses pendidikan dan kesehatan, itu semua ditentukan oleh siapa pemerintah daerahnya," kata Rama kepada Kompas.com, Rabu.
"Kalau kita gak aware, semakin rusaklah hidup rakyat," sambungnya.
Menurut Rama, proses menuju Pilkada 2024 menunjukkan banyak intrik politik yang licik dan picik.
Ia pun menganggap hal tersebut sebagai hal yang menyedihkan bagi bangsa Indonesia.
"Memang pantasnya 17 Agustus kemarin itu kita pasang bendera setengah tiang untuk lebih merenung dengan kondisi duka negara ini oleh sebab rezim penguasa. Memuakkan," tuturnya seperti dikutip kompas
Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna Sebut Pihaknya Sesalkan Baleg DPR Lakukan Pembangkangan Konstitusi
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna merespons hasil rapat Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat mengenai revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Undang-Undang Pilkada). Ia menyesalkan, Baleg DPR secara terang-terangan membangkang terhadap putusan MK.
"Kami tidak punya kewenangan memeriksa Baleg DPR. Tapi cara ini, buat saya pribadi, adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan. Mahkamah Konstitusi yang tidak lain adalah lembaga negara yang oleh konstitusi (UUD 1945) ditugasi untuk mengawal UUD 1945," kata I Dewa Gede Palguna kepada wartawan, Rabu (21/8).
Pembangkangan terhadap konstitusi itu dapat dilihat dari hasil rapat Baleg DPR. Pasalnya, Baleg tiba-tiba secara mempercepat pembahasan revisi UU Pilkada, setelah hadirnya putusan MK mengenai uji materi Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala dearah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada mengenai bata usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya, ambang batas pencalonan yaitu didukung minimal 20 persen partai politik pemilik kursi di DPRD
Lalu ambang batas itu diubah menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 sampai 10 persen dari total suara sah. Selain itu, MK juga memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon.
Namun, Baleg DPR tidak mengindahkan putusan MK itu. Palguna menegaskan, masyarakat sejatinya tidak diam melihat sikap tersebut.
"Itu kan sudah berada di luar kewenangan MK. Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society, serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapean," pungkasnya.***